Monday, 7 September 2020

Upaya Indonesia Mengatasi Ketimpangan Akses terhadap Pendidikan Berkualitas: Studi Kasus SMP di Yogyakarta

Foto ilustrasi: Novita Eka Syaputri

 

Setiap anak di Indonesia wajib memperoleh pendidikan dasar kelas 1–6 sekolah dasar (SD) dan kelas 7–9 sekolah menengah pertama (SMP). Dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia berhasil mencapai kemajuan besar dalam meningkatkan akses pendidikan dasar. Pada 2019, angka partisipasi murni 98% untuk tingkat SD dan 79% untuk tingkat SMP. Pencapaian ini sebagian besar disebabkan oleh upaya pemerintah dalam menyediakan pendidikan gratis di sekolah-sekolah negeri. Meskipun demikian, Indonesia masih menghadapi tantangan yang besar dalam mewujudkan pemerataan akses terhadap pendidikan berkualitas, khususnya di tingkat SMP.

Sistem penerimaan siswa baru sebelumnya mengakibatkan akses ke SMP negeri gratis menjadi tidak merata

Di Indonesia, SMP negeri umumnya memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan SMP swasta. Berkat sumber daya yang lebih baik, guru-guru yang lebih terlatih, serta seleksi masuk yang menyaring siswa dengan kemampuan lebih baik, lulusan SMP negeri memperoleh nilai Ujian Nasional (UN) yang lebih tinggi dibandingkan lulusan SMP swasta.

Namun, jumlah SMP negeri favorit yang gratis hanya mampu menampung sekitar 70% murid di seluruh Indonesia. Sebelum 2017, penerimaan siswa baru di SMP negeri diseleksi berdasarkan nilai ujian akhir kelas 6. Ujian akhir kelas 6 diselenggarakan oleh pemerintah provinsi dan harus diikuti oleh semua SD, baik negeri maupun swasta. Siswa yang tidak diterima di SMP negeri terpaksa masuk SMP swasta berbayar (walaupun, di sejumlah daerah, biaya sekolah SMP swasta sebagian disubsidi oleh pemerintah daerah).

Di bawah sistem tersebut, siswa kelas 6 yang memperoleh nilai ujian akhir tinggi (siswa dengan kemampuan akademik tinggi) akan diterima di SMP negeri. Siswa yang termasuk ke dalam kelompok tersebut umumnya berasal dari keluarga mampu. Sementara, siswa yang memperoleh nilai ujian akhir rendah (siswa dengan kemampuan akademik rendah), sebagian besar berasal dari keluarga tidak mampu, dan harus mengeluarkan biaya untuk bersekolah di sekolah swasta berkualitas rendah. Meskipun terdapat sekolah swasta berkualitas tinggi, para siswa ini tidak dapat masuk sekolah tersebut karena biaya yang sangat mahal. Dengan demikian, sistem penerimaan siswa baru sebelumnya menimbulkan ketimpangan akses terhadap pendidikan berkualitas, dan merugikan siswa yang berkemampuan rendah dan berasal dari keluarga tidak mampu.

Mengubah sistem penerimaan siswa baru untuk mengatasi ketimpangan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyadari bahwa sistem penerimaan siswa baru yang berlaku selama ini mempersulit siswa dengan kemampuan akademik rendah dan siswa dari kalangan tidak mampu untuk bisa mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan gratis. Oleh karena itu, pada 2017 Kemendikbud mengubah peraturan penerimaan siswa baru di SMP negeri; dari yang sebelumnya hanya berdasarkan nilai ujian akhir kelas 6 menjadi mengutamakan jarak rumah siswa ke sekolah. Kebijakan baru yang dikenal dengan sebutan “kebijakan zonasi sekolah” ini memprioritaskan siswa yang lokasi rumahnya dekat dengan sekolah negeri untuk diterima di sekolah tersebut. Pemerintah Pusat berharap kebijakan baru ini dapat mendorong kesetaraan akses terhadap pendidikan berkualitas. Walaupun kebijakan zonasi sekolah sudah diterbitkan Pemerintah Pusat sejak 2017, sistem desentralisasi yang berlaku di Indonesia memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menentukan bagaimana mengaplikasikan kebijakan tersebut di daerah mereka masing-masing.

Beralih ke sistem penerimaan siswa baru yang lebih adil: Studi kasus Yogyakarta

Kami meneliti pengaruh dari perubahan kebijakan penerimaan siswa baru ini terhadap komposisi murid SMP di Yogyakarta, yaitu kota yang sebagian sekolahnya memiliki prestasi tertinggi di Indonesia. Di Yogyakarta terdapat 16 SMP negeri yang menampung sekitar 60 persen murid SMP di kota ini. Yogyakarta mulai menerapkan kebijakan zonasi sekolah untuk penerimaan siswa baru di SMP negeri pada 2018.

Sebelum kebijakan zonasi sekolah diberlakukan, penerimaan siswa baru di semua sekolah negeri di Yogyakarta diseleksi berdasarkan nilai ujian akhir kelas 6. Sekitar 75 persen dari kuota tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan latar belakang ekonomi siswa. Kebijakan lama tersebut bahkan meluas hingga ke pinggiran Kota Yogyakarta; siswa dari luar kota yang memiliki kemampuan akademik tinggi dapat bersekolah di SMP negeri di Yogyakarta. Sisa kuota 25 persen ditujukan bagi siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu, namun penyaringannya pun tetap mengacu kepada nilai ujian akhir. Artinya, siswa tidak mampu yang memiliki kemampuan akademik lebih tinggilah yang akan diterima di SMP negeri (lihat Tabel 1 dan 2).

Ketika kebijakan zonasi sekolah diberlakukan, sebanyak 75 persen kuota dialokasikan bagi siswa yang tinggal paling dekat dengan sekolah. Sebanyak 20 persen dialokasikan bagi siswa yang diseleksi berdasarkan nilai ujian akhir kelas 6. Sisa kuota 5 persen merupakan jatah bagi siswa pindahan dari luar Kota Yogyakarta–akibat mengalami bencana alam atau karena orang tua mereka dipindahtugaskan ke Yogyakarta.

 

Tabel 1. Kriteria Seleksi Penerimaan Siswa Baru Sebelum Penerapan Kebijakan Zonasi Sekolah
Kriteria Siswa
(seluruh siswa diurutkan berdasarkan nilai ujian akhir kelas 6)
Persentase Siswa
Tinggal di Kota Yogyakarta 55
Tinggal di pinggiran Kota Yogyakarta 20
Berasal dari keluarga tidak mampu dan tinggal di Kota Yogyakarta 25

 

Tabel 2. Kriteria Seleksi Penerimaan Siswa Baru Setelah Penerapan Kebijakan Zonasi Sekolah pada 2018
Kriteria Siswa
(seluruh siswa diurutkan berdasarkan kedekatan jarak rumah ke sekolah atau nilai ujian akhir kelas 6)
Persentase Siswa
Berdasarkan kedekatan rumah dengan sekolah-tinggal di Kota Yogyakarta 75
Berdasarkan nilai ujian akhir kelas 6 - tinggal di Kota Yogyakarta 15
Berdasarkan nilai ujian akhir kelas 6 - tinggal di pinggiran Kota Yogyakarta 5
Siswa pindahan dari luar Kota Yogyakarta 5

 

Siswa mendaftar ke SMP negeri secara daring. Pada 2018, siswa memilih kategori kriteria seleksi penerimaan siswa baru yang sesuai dengan kondisi mereka, dan mengurutkan maksimal 16 sekolah yang paling mereka minati. Jika seorang siswa hanya mendaftar di tiga sekolah negeri, misalnya, maka ia hanya akan menjadi calon siswa di ketiga sekolah tersebut. Proses seleksi ini bertujuan menempatkan siswa di sekolah-sekolah secara efisien menggunakan sistem deferred acceptance mechanism.

Dalam sistem penerimaan deferred acceptance mechanism, siswa diminta mengurutkan sekolah preferensi mereka; sekolah di urutan teratas adalah yang paling mereka minati, sedangkan sekolah di urutan terbawah adalah pilihan terakhir. Di saat yang sama, sekolah juga menyusun daftar siswa yang ingin mereka terima. Nantinya kedua daftar itu akan dicocokkan sehingga siswa diterima di sekolah berperingkat tertinggi yang akan menerima mereka.

Proses seleksi penerimaan siswa baru pada 2018 terlihat pada Gambar 1.

 

Gambar 1

 

Siswa dapat mendaftar lewat dua tahap: pertama berdasarkan seleksi nilai ujian akhir kelas 6, kedua berdasarkan jarak rumah ke sekolah.

Pada tahap pertama, sistem penerimaan deferred acceptance mechanism memeringkatkan siswa berdasarkan nilai ujian akhir mereka dan preferensi sekolah yang sudah mereka pilih. Jika suatu sekolah memiliki jumlah peminat yang sangat tinggi, kuota sekolah tersebut akan diisi oleh siswa-siswa dengan nilai tertinggi yang mendaftar ke sekolah tersebut. Pada tahap ini, siswa terpilih belum mendapatkan kepastian sekolah mana yang menerima mereka.

Sementara, siswa yang tersisih dari sekolah tersebut otomatis tergeser ke sekolah pilihan mereka selanjutnya. Siswa yang tergeser itu kemudian disatukan dengan siswa lain yang memilih sekolah tersebut sebagai pilihan pertama mereka. Sama seperti di sekolah yang sebelumnya, kuota di sekolah ini akan diisi oleh siswa dengan nilai ujian akhir tertinggi. Mekanisme ini terus berlanjut sampai semua kuota di sekolah yang dipilih para murid terisi. Pada saat yang sama, seleksi penerimaan siswa pindahan dari luar Kota Yogyakarta dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan informasi dari dokumen perpindahan siswa (tidak ditunjukkan pada gambar di atas).

Hasil seleksi tahap pertama diumumkan sebelum seleksi tahap kedua dimulai. Dengan demikian, siswa yang tersingkir di tahap pertama berdasarkan nilai ujian, dapat mengikuti seleksi tahap kedua, bersamaan dengan siswa yang memang hanya mendaftar untuk mengikuti seleksi di tahap kedua.

Perlu diketahui, siswa yang tersingkir di tahap pertama dapat mengubah daftar urutan preferensi sekolah mereka saat seleksi tahap kedua. Proses seleksi di tahap kedua juga menggunakan sistem deferred acceptance mechanism untuk menempatkan siswa di sekolah negeri pilihan mereka. Hanya saja, pemeringkatan siswa di tahap ini mengacu kepada jarak rumah-ke-sekolah, yang berarti memprioritaskan siswa yang rumahnya lebih dekat dengan sekolah.

Perlu diketahui, di tahap kedua ini, siswa tidak harus mendaftar ke sekolah yang lokasinya paling dekat dengan rumah mereka, walaupun peluang mereka untuk diterima di sekolah tersebut jauh lebih besar. Siswa dapat memilih sekolah yang lokasinya jauh dari tempat tinggal mereka di dalam daftar preferensi sekolah. Namun, pilihan ini juga berarti menurunkan peluang siswa untuk diterima di sekolah negeri, dan meningkatkan kemungkinan mereka untuk mendaftar ke sekolah swasta.

Pada kenyataannya, banyak siswa yang tidak memilih sekolah negeri yang berlokasi di dekat rumah mereka. Dari total siswa yang diterima di sekolah negeri melalui tahap kedua, sebanyak 76 persen diterima di sekolah preferensi pertama. Sementara, hanya 23 persen siswa yang mendaftar dan diterima di sekolah yang lokasinya dekat dengan rumah mereka. Biaya transportasi dan waktu tempuh ke-dan-dari-sekolah di Yogyakarta bisa dibilang rendah, sehingga jarak tidak memengaruhi preferensi sekolah dari orang tua maupun siswa di kota tersebut. Dalam tahap kedua ini, siswa yang tidak memilih sekolah yang terdekat dengan rumah mereka, bersekolah di sekolah yang jaraknya rata-rata kurang dari satu kilometer dari rumah mereka.

 

Kebijakan zonasi sekolah membuat siswa dengan kemampuan akademik rendah yang berasal dari keluarga tidak mampu bisa bersekolah di sekolah negeri
 

Yogyakarta adalah kota dengan tingkat segregasi lingkungan yang rendah; siswa yang tinggal di dekat sekolah negeri memiliki kemampuan akademik maupun latar belakang ekonomi yang beragam. Kami berharap salah satu dampak dari kebijakan zonasi sekolah adalah meningkatkan variasi komposisi siswa di sekolah negeri dalam hal nilai ujian akhir kelas 6 dan status ekonomi.

Sebelum berlakunya kebijakan zonasi sekolah, rata-rata nilai ujian akhir kelas 6 siswa di SMP negeri adalah 1,16 standar deviasi lebih tinggi daripada rata-rata nilai ujian akhir kelas 6 siswa di SMP swasta. Setelah kebijakan zonasi sekolah diterapkan, selisih rata-rata nilai ujian akhir kelas 6 antara siswa SMP negeri dan swasta hanya sebesar 0,26 standar deviasi.

Kebijakan zonasi sekolah juga meningkatkan akses siswa dari keluarga tidak mampu ke sekolah negeri. Sebelum kebijakan tersebut diterapkan, rata-rata indeks aset siswa sekolah negeri sebesar 0,09 standar deviasi lebih rendah daripada siswa di sekolah swasta. Hal ini karena banyak siswa dari keluarga mampu yang mendaftar di sekolah swasta mahal berkualitas tinggi di Yogyakarta. Namun, setelah penerapan kebijakan zonasi sekolah, rata-rata indeks aset siswa di sekolah negeri menjadi 0,36 standar deviasi lebih rendah daripada rata-rata indeks aset siswa di sekolah swasta. Ini mengindikasikan jumlah siswa tidak mampu yang masuk sekolah negeri kini lebih banyak.

Gambar 2 menunjukkan akses ke SMP negeri kini jauh lebih adil. Sebelumnya, kurang dari 30 persen siswa yang bersekolah di SMP negeri memiliki nilai ujian akhir kelas 6 di bawah median. Di SMP swasta, jumlah siswa yang nilai ujian akhir kelas 6-nya di bawah median mencapai 80 persen. Setelah penerapan kebijakan zonasi sekolah, banyaknya siswa yang memperoleh nilai di bawah median adalah sekitar 50 persen di SMP negeri dan 60 persen di SMP swasta.

Grafik distribusi kumulatif sesudah penerapan kebijakan zonasi sekolah pun hampir sejajar dengan diagonal 45 derajat, yang merepresentasikan distribusi merata yang sempurna. Ini menandakan bahwa siswa yang diterima di SMP negeri melalui tahap kedua merupakan sampel representatif dari seluruh pemilik nilai ujian kelas 6.

 

Gambar 2

 

Akses ke SMP negeri meningkat terutama untuk 40 persen siswa dengan nilai ujian akhir kelas 6 terendah (Gambar 3). Sebelum penerapan kebijakan zonasi sekolah, hanya 29 persen siswa dari 40 persen pemilik nilai terendah yang diterima di SMP negeri, sedangkan setelah adanya kebijakan tersebut, banyaknya siswa yang diterima di SMP negeri dari kelompok 40 persen tersebut mencapai 66 persen. Artinya, kemungkinan mendaftar ke sekolah negeri meningkat lebih dari dua kali lipat bagi siswa dalam kelompok 40 persen terendah tersebut. Sementara, kemungkinan siswa yang berada di desil terendah nilai ujian akhir kelas 6 mendaftar ke SMP negeri meningkat hingga 8 kali lipat berkat kebijakan zonasi. Sebelum adanya kebijakan zonasi, ternyata ada siswa yang nilai ujian akhir kelas 6-nya berada di desil terbawah namun bersekolah di SMP negeri–walaupun saat itu seleksinya berdasarkan nilai ujian. Para siswa ini mendaftar melalui kriteria khusus untuk keluarga miskin (lihat Tabel 1).

Perlu diingat bahwa angka yang terdapat di Tabel 1 hanya mencakup siswa yang berasal dari Kota Yogyakarta, dan sebagian besar dari siswa tersebut yang bersekolah di SMP negeri, meningkat sebesar 6 poin persentase akibat penerapan kebijakan zonasi. Sebelumnya, kuota ini diberikan kepada siswa yang tinggal di luar Kota Yogyakarta; sekarang, berkat kebijakan zonasi, jatah tersebut tersedia bagi siswa yang tinggal di dalam kota.

 

Gambar 3

Terlepas dari keberhasilan kebijakan zonasi sekolah dalam meningkatkan akses ke sekolah negeri secara umum, ternyata siswa dengan kemampuan akademik rendah dan berasal dari keluarga kurang mampu masih tidak bersekolah di sekolah negeri favorit. Kami memaparkan alasan di balik fenomena tersebut di artikel kedua.

 

Artikel ini dimuat ulang dari situs web RISE Programme website dan telah mendapat izin untuk dipublikasikan kembali.


Bagikan Postingan Ini