Monday, 7 September 2020

Alasan Siswa dengan Kemampuan Akademik Rendah dan Siswa dari Keluarga Tidak Mampu di Yogyakarta Tidak Masuk ke SMP Negeri Terbaik—Meski Mereka Mampu

Foto ilustrasi: Novita Eka Syaputri

 

Dalam blog sebelumnya, kami membahas kebijakan baru yang mengubah sistem penerimaan siswa baru di SMP negeri; dari yang sebelumnya berdasarkan seleksi nilai ujian akhir kelas 6 menjadi mengacu kepada kedekatan jarak rumah ke sekolah. Kami menunjukkan bahwa ketika Kota Yogyakarta menerapkan kebijakan baru, yaitu kebijakan zonasi sekolah, komposisi siswa berubah secara signifikan. Banyak siswa dengan kemampuan akademik rendah dan siswa dari keluarga tidak mampu yang sebelumnya tidak bisa diterima di sekolah negeri, sekarang bersekolah di sekolah-sekolah negeri.

Kenyataan ini menunjukkan telah terjadi peningkatan kesetaraan akses ke sekolah negeri. Bagi siswa yang nilai ujian akhir kelas 6-nya termasuk ke dalam 40 persen terbawah, akses masuk ke sekolah negeri naik lebih dari dua kali lipat. Sebelum kebijakan zonasi diterapkan, siswa dari kelompok tersebut yang diterima di sekolah negeri sebanyak 29 persen, sedangkan pascapemberlakuan kebijakan zonasi jumlahnya mencapai 66 persen.

Dalam artikel ini kami menunjukkan bahwa walau jumlah siswa dengan kemampuan akademik rendah yang diterima di SMP negeri meningkat, namun, banyak dari mereka tidak masuk ke SMP negeri terbaik—meski mereka sebenarnya mampu. Kami menemukan penyebabnya bukan karena gagalnya kebijakan zonasi, tetapi karena para siswa tersebut memang memilih untuk masuk ke SMP negeri berkualitas rendah. Kami menyelidiki lebih lanjut untuk mengetahui alasannya.

Dalam artikel kami sebelumnya, kami menyebutkan bahwa siswa tidak harus mendaftar ke sekolah negeri yang lokasinya paling dekat dengan rumah mereka, meski peluang mereka untuk diterima di sekolah itu sangat tinggi. Sebanyak 76 persen siswa yang mendaftar lewat tahap pertama, yaitu berdasarkan jarak dari rumah ke sekolah, diterima di sekolah yang berada dalam daftar preferensi teratas mereka (93 persen diterima di sekolah pilihan pertama sampai ketiga). Sementara, hanya 23 persen siswa yang mendaftar ke sekolah yang lokasinya paling dekat dengan rumah mereka (66 persen diterima di salah satu dari tiga sekolah terdekat).

Untuk mengidentifikasi sekolah mana yang akan menerima siswa, jika siswa memilih sekolah terdekat dari rumah mereka sebagai preferensi pertama, kami melakukan simulasi alokasi siswa berdasarkan pedoman terkait penerimaan berdasarkan dekatnya jarak antara rumah dan sekolah siswa dari Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta. Kami mengelompokkan siswa yang diterima di sekolah negeri lewat seleksi berdasarkan kedekatan jarak dari rumah ke sekolah, dengan mengasumsikan preferensi sekolah mereka berdasarkan jarak dari rumah ke tiap-tiap sekolah. Dari hasil simulasi kami, sebanyak 81 persen siswa diterima di sekolah yang jaraknya paling dekat dengan rumah mereka (91 persen diterima di salah satu dari tiga sekolah terdekat). Dalam simulasi kami, seluruh siswa mendaftar ke sekolah terdekat dari rumah mereka, tetapi siswa yang lokasi rumahnya lebih dekat kemungkinan sudah diterima di sekolah tersebut. Oleh karena itu, sebagian siswa tidak dialokasikan ke dalam sekolah terdekat dari rumah mereka.

Untuk membandingkan kualitas antara sekolah dalam simulasi pendaftaran dan sekolah yang benar-benar dipilih siswa, kami menggunakan peringkat sekolah berdasarkan nilai rata-rata ujian akhir nasional SMP/ujian nasional (UN) SMP (kelas 9) sebelum kebijakan zonasi diberlakukan sebagai proksi untuk kualitas sekolah. Kami mengurutkan 16 SMP negeri berdasarkan prestasi sekolah; sekolah dengan prestasi tertinggi di peringkat 1, sedangkan sekolah dengan prestasi terendah di peringkat 16.

 

Siswa dengan kemampuan akademik lebih rendah masuk ke sekolah negeri berkualitas lebih rendah daripada sekolah negeri yang dapat menerima mereka apabila mereka mendaftar ke sekolah terdekat dari rumah

Gambar 1 membandingkan rata-rata peringkat sekolah dari simulasi sekolah terdekat dengan sekolah pilihan siswa sesungguhnya berdasarkan nilai ujian kelas 6 (rata-rata 0 dan standar deviasi 1). Garis putus-putus horizontal mengindikasikan sekolah terdekat memiliki kualitas yang sama pada berbagai “tipe” siswa. Informasi ini menggambarkan keragaman siswa yang rumahnya dekat dengan sekolah negeri, serta mengonfirmasi bahwa kebijakan zonasi berpotensi mewujudkan alokasi siswa yang adil. 

Meskipun demikian, kurva berwarna hitam menunjukkan bahwa, pada kenyataannya, siswa dengan nilai ujian kelas 6 di bawah rata-rata mendaftar ke sekolah berperingkat lebih rendah dibandingkan sekolah terdekat dari rumah mereka; rata-rata sekitar satu peringkat lebih rendah. Sebaliknya, siswa dengan nilai ujian kelas 6 di atas rata-rata mendaftar ke sekolah berperingkat lebih tinggi dibandingkan sekolah terdekat dari rumah mereka. Misalnya, rata-rata siswa yang nilainya memiliki standar deviasi 2 di atas rata-rata nilai ujian kelas 6 mendaftar ke sekolah berperingkat empat lebih tinggi dibandingkan sekolah terdekat mereka.

Dalam blog ini, kami fokus pada perbedaan berdasarkan performa siswa pada nilai ujian kelas 6 mereka, tetapi hasilnya sama dengan bila kami menggunakan indeks aset terstandardisasi sebagai proksi untuk kekayaan keluarga. Oleh karena itu, siswa yang termasuk kurang mampu juga mendaftar ke sekolah berperingkat lebih rendah dibandingkan sekolah terdekat dari rumah mereka.

 

Gambar 1

Di tingkat sekolah, sistem zonasi mengakibatkan lebih banyak pengelompokan nilai ujian daripada jika siswa dialokasikan berdasarkan kedekatan jarak rumah mereka dengan sekolah. Diagram batang di bawah ini menunjukkan perbedaan pada nilai ujian kelas 6 yang terstandardisasi di setiap sekolah negeri, antara siswa yang benar-benar diterima di sekolah dengan siswa dalam simulasi, dan interval kepercayaan 95 persen. Komposisi siwa akan serupa bila siswa yang rumahnya paling dekat dengan sekolah mendaftar ke sekolah tersebut dan diterima.

Namun, siswa yang mendaftar ke sekolah berperingkat dua teratas memiliki rata-rata nilai ujian kelas 6 dengan standar deviasi 0,8 dan 0,9 lebih tinggi daripada siswa yang rumahnya paling dekat dengan kedua sekolah tersebut. Pada saat yang sama, siswa yang mendaftar ke sekolah berperingkat lebih rendah umumnya memiliki rata-rata nilai ujian kelas 6 lebih rendah daripada yang kami perkirakan sebelumnya. Oleh karena itu, meskipun kebijakan zonasi berpotensi mewujudkan alokasi siswa yang adil, siswa dengan kemampuan akademik tinggi tetap masuk ke sekolah negeri terbaik, sedangkan siswa dengan kemampuan akademik rendah tetap masuk ke sekolah negeri berperingkat lebih rendah.

Gambar 2

Catatan: Angka pada seluruh batang tidak berjumlah nol karena kapasitas kursi di setiap sekolah berbeda-beda. Total kapasitas kursi di sekolah-sekolah dengan peringkat ke-1, ke-2, dan ke-9 berjumlah 654, sedangkan total kapasitas kursi di sekolah-sekolah dengan peringkat ke-12, ke-13, ke-14, dan ke-15 adalah 663. Perbedaan rata-rata berdasarkan jumlah kursi adalah nol.

 

Alasan siswa dengan kemampuan akademik lebih rendah masuk ke sekolah negeri yang berperingkat lebih rendah dibandingkan sekolah yang dapat mereka masuki berdasarkan jarak adalah karena mereka tidak mendaftar ke sekolah negeri terbaik
Perbedaan komposisi siswa yang secara aktual terdaftar di sekolah dengan siswa pada simulasi pendaftaran disebabkan oleh preferensi siswa, bukan karena penolakan sekolah terhadap siswa dengan kemampuan akademik rendah. Gambar 3 memperlihatkan proporsi siswa yang memiliki nilai ujian kelas 6 rata-rata atau lebih tinggi, yang mendaftar ke sekolah preferensi pertama melalui tahap seleksi berdasarkan kedekatan jarak dari rumah ke sekolah. Dari kelompok siswa yang memilih salah satu dari dua sekolah terbaik teratas sebagai preferensi pertama dalam formulir pendaftaran, sebesar 91 persen memiliki nilai ujian kelas 6 di atas rata-rata. Sementara itu, siswa yang mendaftar ke sekolah negeri lain nilai ujian kelas 6-nya lebih beragam. Di sisi lain, hanya tiga persen siswa dari kelompok dengan nilai ujian kelas 6 di bawah rata-rata yang memilih dua sekolah terbaik teratas sebagai preferensi pertama mereka (tidak terlihat di gambar).

 

Gambar 3

Kami berhipotesis siswa dengan hasil ujian kelas 6 yang beragam memiliki preferensi sekolah yang berbeda-beda karena mereka cenderung memilih untuk masuk ke sekolah tertentu. Siswa sepertinya memilih sekolah yang siswanya memiliki kemampuan akademik dan latar belakang ekonomi serupa dengan mereka. Studi kualitatif kami menemukan bahwa orang tua siswa dengan kemampuan akademik tinggi percaya bahwa budaya sekolah dan lingkungan pergaulan turut membentuk capaian akademik anak-anak mereka.

Perbedaan preferensi sekolah tampaknya bukan disebabkan oleh orang tua memperoleh informasi yang keliru. Masyarakat Yogyakarta memiliki pengetahuan yang baik tentang peringkat sekolah di kota mereka karena peringkat tersebut juga mewakili reputasi sekolah dalam hal pendidikan. Dua sekolah terbaik di Yogyakarta bahkan masuk dalam lima besar sekolah terbaik se-Indonesia, dalam hal nilai UN SMP.

Lebih jauh lagi, studi kualitatif kami mengungkap bahwa siswa dengan kemampuan akademik rendah memiliki alasan yang bisa dimengerti untuk tidak mendaftar ke sekolah-sekolah terbaik itu. Sekolah-sekolah terbaik menerapkan kurikulum yang “ambisius” dan orang tua mengatakan mereka khawatir anak-anaknya tidak akan mampu mengikuti pola belajar sekolah tersebut.

Salah satu sekolah terbaik tersebut tidak membuat penyesuaian kurikulum untuk mengakomodasi kebutuhan siswa dengan kemampuan akademik rendah. Sementara, sekolah yang lain memantau kinerja siswa dengan kemampuan akademik rendah dan meluluskan siswa setahun lebih lama jika diperlukan. Selain itu, orang tua juga menyebutkan bahwa sekolah-sekolah tersebut kerap memungut uang dari mereka untuk membiayai kegiatan sekolah, padahal sekolah negeri semestinya bebas dari pungutan apa pun.

Pada blog sebelumnya, kami menunjukkan bahwa kebijakan zonasi berhasil meningkatkan akses siswa dengan kemampuan akademik rendah dan siswa dari keluarga tidak mampu untuk masuk ke sekolah negeri. Namun, pada blog ini kami mengungkapkan bahwa kesetaraan dalam hal akses belum tercapai di SMP negeri terbaik di Yogyakarta. Meskipun demikian, masih ada ruang untuk perdebatan mengenai apakah sekolah terbaik akan memberikan hasil optimal bagi siswa dengan kemampuan akademik rendah dan siswa dari keluarga tidak mampu, mengingat studi kualitatif kami menemukan para siswa tersebut memiliki alasan yang bisa dimengerti di balik keputusan memilih sekolah negeri berperingkat lebih rendah.

Selain itu, bukti mengenai pengaruh sekolah negeri favorit terhadap pembelajaran di negara-negara lain cukup beragam. Kami berharap dapat menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut dengan melanjutkan penelitian kami di Yogyakarta untuk Program RISE.

 

Artikel ini dimuat ulang dari situs web RISE Programme website dan telah mendapat izin untuk dipublikasikan kembali.


Bagikan Postingan Ini