Foto ilustrasi: Novita Eka Syaputri
.
Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia.
.
Setelah setahun lebih siswa di Indonesia terpaksa belajar di rumah, Menteri Nadiem Makarim meminta pembelajaran tatap muka (PTM) kembali dilakukan.
Sebanyak 63% sekolah di Indonesia di daerah dengan Perlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 1, 2, dan 3 bisa melaksanakan PTM.
Analisis dari berbagai penelitian sebelumnya, misalnya, menjelaskan bagaimana belajar dari rumah yang timpang dan tidak efektif membuat banyak pelajar kehilangan kemampuan membaca setara dengan 6 bulan proses pembelajaran, serta berpotensi menghapus bonus demografi dan mengurangi pendapatan anak di masa depan.
Artinya, ada tugas darurat yang perlu pertama-tama dilakukan oleh sekolah dan guru saat kembali menjalankan PTM – yakni memulihkan hasil belajar siswa.
Risiko menjalankan PTM tanpa memulihkan hasil belajar
Akibat efektivitas belajar di rumah yang berbeda – terutama antara murid kaya dan miskin – kemampuan siswa akan menjadi jauh lebih beragam dibandingkan dengan sebelum pandemi.
Ini mempengaruhi kemampuan murid dalam mengikuti pembelajaran saat kembali masuk sekolah.
Siswa yang selama pandemi kesulitan menguasai materi ajar di jenjang sebelumnya, misalnya, akan kesulitan memahami berbagai materi ajar baru yang mensyaratkan pemahaman materi pada level di bawahnya.
Padahal, riset sebelumnya dari peneliti SMERU menemukan bahwa pada tahun 2014, hanya sekitar 35% siswa kelas 12 yang mampu menjawab pertanyaan matematika untuk kelas 5 – tujuh level di bawah jenjang mereka.
Hal ini kemungkinan menjadi makin parah selama pandemi.
Tanpa upaya khusus dari sekolah untuk menyikapi perbedaan ini, penurunan kemampuan siswa dan ketimpangan hasil belajar akan semakin memburuk seiring dengan naiknya jenjang pendidikan siswa.
Tiga langkah darurat: ukur, ajar, pantau
Kami merekomendasikan tiga langkah bagi sekolah dan guru untuk memulihkan hasil belajar siswa saat kembali masuk sekolah.
1. Segera ukur kembali kemampuan siswa
Saat kembali masuk sekolah, sekolah perlu segera melakukan ‘asesmen diagnostik’ – yakni pemetaan kemampuan belajar siswa yang berbeda-beda – terutama pada minggu-minggu pertama ketika sekolah dibuka kembali.
Asesmen diagnostik ini dapat berwujud beberapa soal yang menguji materi penting yang telah dipelajari atau seharusnya sudah dipahami siswa, agar mereka dapat memahami materi yang akan diajarkan selanjutnya.
Guru kemudian dapat menggunakan hasil asesmen ini untuk melakukan pendampingan dan memberi bantuan lebih lanjut kepada siswa yang membutuhkan.
Dinas pendidikan California di Amerika Serikat (AS), misalnya, mendorong sekolah di daerah tersebut untuk menerapkan sejumlah asesmen dagnostik via komputer. Rangkaian asesmen ini mengukur apa saja kekurangan akademik setiap siswa di bidang matematika, bahasa, dan sains, dan merekomendasikan materi apa yang harus dipelajari berikutnya.
2. Kelompokkan siswa berdasarkan capaian mereka
Informasi yang diperoleh dari hasil asesmen diagnostik juga dapat digunakan guru untuk merancang pengajaran dengan pendekatan yang dibedakan (differentiated teaching).
Di sini, siswa dengan kemampuan yang sama terlebih dahulu dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok kecil. Strategi pembelajaran kemudian disesuaikan dengan tingkat pembelajaran siswa di setiap kelompok.
Misalnya, kelompok yang berisi siswa dengan nilai asesmen di atas rata-rata kelas dapat diberi pengajaran normal.
Sementara itu, kelompok dengan siswa bernilai di bawah rata-rata – yang kemungkinan mengalami ketertinggalan selama pandemi – perlu diberi upaya lebih melalui pengajaran kembali materi-materi yang belum dipahami untuk mengejar ketertinggalannya.
Di luar praktik pengelompokkan ini, pada jam sekolah biasa, siswa pada kelompok bawah tetap dapat mengikuti pembelajaran bersama dengan siswa kelompok lainnya dan berkontribusi sesuai kemampuannya.
Studi di Kenya menemukan bahwa pengajaran dalam kelompok-kelompok yang dibagi berdasarkan kemampuan awal siswa, mampu meningkatkan capaian matematika dan bahasa mereka secara signifkan.
3. Pantau terus perkembangan tiap kelompok siswa
Selama pengajaran berjalan, guru sebaiknya melakukan pengukuran dan evaluasi berkala terhadap siswa sepanjang tahun ajaran untuk memantau perkembangan mereka.
Jika siswa menunjukkan kemajuan belajar yang signifikan, siswa dapat lanjut mempelajari materi baru atau dipindahkan ke kelompok belajar yang lebih tinggi.
Untuk memperlancar proses ini, guru juga sebaiknya fokus pada mendorong kemajuan hasil belajar siswa dari satu titik waktu ke titik waktu lainnya (atau sering disebut ‘asesmen formatif’).
Kurikulum atau bahan ajar pun perlu disederhanakan supaya guru dapat fokus memantau pemulihan kemampuan siswa tersebut. Misalnya, untuk sementara, guru dapat diminta untuk fokus saja pada memulihkan keterampilan dasar seperti literasi dan numerasi, serta materi-materi lain yang belum dikuasai siswa sesuai hasil asesmen diagnostik.
Apabila ini tidak dilakukan, alih-alih menutup ketertinggalan belajar siswa, guru akan kembali terjebak praktik biasa yakni menguji siswa untuk sekadar berlomba-lomba mencapai target kurikulum.
Guru perlu dukungan penuh sekolah untuk pulihkan hasil belajar siswa
Rangkaian praktik tiga langkah di atas telah terbukti efektif dalam meningkatkan hasil belajar terutama bagi anak berkemampuan rendah.
Studi yang dilaksanakan di India dan Afrika menunjukkan bahwa praktik tiga langkah tersebut – yang dalam riset disebut sebagai ’Teaching at the Right Level atau TaRL (Mengajar di Level Yang Tepat) – berdampak positif pada upaya siswa kemampuan rendah untuk lebih cepat mengejar keteringgalannya.
Meskipun demikian, praktik TaRL di dua negara tersebut menunjukkan bahwa upaya memulihkan hasil belajar siswa membutuhkan beberapa persiapan – tidak cukup hanya dengan memberi pelatihan pada guru.
Guru memerlukan bantuan untuk memahami cara menggunakan hasil asesmen dalam merancang pembelajaran dan panduan yang jelas bagaimana memantau perkembangan siswa antar kelompok. Namun, yang paling penting adalah dukungan penuh dari sekolah untuk fokus melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada kebutuhan siswa, bukan pada pencapaian target kurikulum.
Dengan lingkungan yang mendukung tersebut, praktik tiga langkah ukur-ajar-pantau akan efektif meningkatkan hasil belajar siswa dan memulihkan kemampuan siswa yang menurun selama pandemi.