Foto ilustrasi: Novita Eka Syaputri
.
Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia.
.
Indonesia sedang mengalami darurat pendidikan.
Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 menunjukkan skor membaca pelajar Indonesia berada di titik terendah selama mengikuti PISA sejak tahun 2000. Siswa dengan kompetensi matematika dasar rendah (di bawah Level 2 dalam skala PISA) berjumlah 71,9% - terburuk ke-7 dari 77 negara yang disurvei.
Salah satu akar masalah buruknya kualitas pendidikan Indonesia adalah rendahnya kualitas guru. Dari tahun 2012 hingga 2015, sebanyak 1,3 juta dari 1,6 juta guru yang mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG) - yang mengukur kompetensi mengelola pembelajaran dan pemahaman atas mata pelajaran yang diampu - bahkan tidak mencapai nilai minimum.
Studi kualitatif kami melalui Program RISE di Indonesia menunjukkan bahwa penyebab signifikan dari rendahnya kualitas guru adalah proses perekrutan guru yang tidak fokus ke pemilihan tenaga didik profesional, melainkan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Dari sekitar 2,9 juta guru di Indonesia, lebih dari setengahnya (sekitar 1,5 juta) berstatus sebagai pegawai negeri sipil.
Keberadaan guru yang berasal dari sistem rekrutmen pemerintah ini sangat krusial bagi sistem pendidikan Indonesia karena mereka menjadi tumpuan pembelajaran bagi hampir 90% sekolah yang ada di Indonesia.
Sulit menyaring guru yang tidak memiliki ‘passion’ dalam mengajar
Dalam pendidikan, panggilan jiwa atau passion adalah bekal penting untuk menjadi pendidik karena berhubungan erat dengan kecintaan mereka pada pengetahuan yang diajarkan kepada murid dan semangat mereka untuk menggali potensi murid.
Namun, sistem rekrutmen guru saat ini belum mampu menyaring dengan baik tenaga pendidik yang memiliki panggilan jiwa tinggi.
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 menetapkan profesi guru - khususnya di sekolah negeri - sebagai bagian dari ASN. Regulasi ini berakibat pada peran ganda profesi guru: sebagai tenaga pendidik sekaligus sebagai pegawai pemerintah.
Dualitas peran ini menyebabkan sulitnya memisahkan pelamar profesi guru yang memiliki minat dan motivasi untuk mengajar dengan mereka yang sekadar tertarik dengan jabatan sebagai pegawai pemerintah.
Tidak melihat kebutuhan di lapangan
Tahun lalu, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mencatat bahwa Indonesia kekurangan sebanyak 1,1 juta guru. Salah satu penyebab tidak langsung adalah terikatnya rekrutmen guru dengan status ASN.
Proses perekrutan guru ASN sendiri berdasarkan alokasi anggaran pendidikan dalam APBN, bukan atas kebutuhan jumlah guru di sekolah.
Hal ini menjadi masalah ketika terjadi penghentian rekrutmen ASN - sebagaimana yang terjadi beberapa tahun belakangan - untuk mengurangi jumlah ASN baru yang direkrut.
Karena suplai tenaga pendidik tidak memperhatikan jumlah kebutuhan di lapangan, sekolah tidak pernah bisa menutup kekurangan guru.
Pada akhirnya, perekrutan guru honorer atau guru tidak tetap selama ini menjadi alternatif agar proses belajar siswa tetap dapat berjalan.
Namun, ketika terjadi kekurangan guru yang besar, perekrutan guru honorer dilakukan dengan cenderung informal, terburu-buru, dan tidak memperhatikan kompetensi kependidikan. Akibatnya, guru yang direkrut seringkali berkualitas rendah.
Tidak memperhatikan kecakapan kerja guru
Proses perekrutan guru sebagai bagian dari proses perekrutan ASN pada umumnya tidak memperhatikan kecakapan kerja yang dibutuhkan seorang guru profesional.
Padahal, profesi guru memerlukan kecakapan kerja yang kompleks. Guru dituntut untuk memiliki kemampuan untuk mengajar secara efektif serta memiliki komitmen dan motivasi tinggi untuk mendidik siswa.
Sementara itu, perekrutan guru dalam sistem rekrutmen ASN pada umumnya mengutamakan wawasan kebangsaan serta pengetahuan umum, dan bukan kompetensi mengajar.
Kandidat calon guru dengan skor tertinggi pada seleksi kompetensi dasar akan mengikuti seleksi tertulis yang menguji kemampuan pengelolaan pembelajaran dan pengetahuan atas mata pelajaran yang mereka ampu.
Padahal, kompetensi seorang guru profesional tidak dapat hanya diketahui melalui tes pengetahuan tertulis.
Pada akhirnya, perekrutan guru dalam proses perekrutan ASN secara umum tidak mampu menyaring calon guru terbaik.
Apa yang harus dilakukan?
Ketiga permasalahan di atas - ditambah dengan sistem insentif finansial dan kepangkatan yang berbasis lamanya tahun kerja dan bukan performa - membuat profesi ini menjadi momok bagi banyak calon guru.
Mereka pada umumnya memilih untuk mengajar di sekolah swasta. Bahkan, tidak sedikit lulusan program pendidikan calon guru dengan kualifikasi baik pada akhirnya memilih untuk menjalani profesi lain.
Untuk memperbaiki kondisi ini, kami menawarkan solusi berikut:
Pertama, profesi guru sebaiknya diperlakukan sebagai pekerjaan profesional. Artinya, profesi guru harus diregulasi sebagai tenaga profesional yang memiliki tanggung jawab terhadap kinerja profesi.
Semangat ini sendiri sudah dicantumkan dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa guru yang diharapkan dari sistem pendidikan Indonesia memiliki ‘panggilan jiwa’, ‘kompetensi’ dan ‘latar belakang pendidikan sesuai bidang tugas’.
Kedua, ini artinya proses perekrutan guru sebaiknya terpisah dari proses perekrutan ASN pada umumnya.
Untuk menjadi guru dengan status pegawai pemerintah, guru sebaiknya menjalani masa percobaan, misalnya dengan status honorer terlebih dahulu. Setelah jangka waktu tertentu, guru yang telah melalui masa percobaan dengan kinerja baik dapat mengikuti seleksi sebagai ASN yang terpisah dari perekrutan ASN pada umumnya.
Dalam proses perekrutan saat ini, guru yang telah lolos proses perekrutan ASN diterima dahulu sebagai pegawai pemerintah kemudian baru menjalani masa percobaan. Langkah ini pun seringkali hanya berperan sebagai formalitas.
Studi menunjukan proses seleksi guru yang melibatkan masa percobaan sejak awal dapat menjaring guru dengan kualitas terbaik, dan memiliki kecakapan kerja sebagai tenaga pendidik profesional.
Praktik semacam ini telah dilakukan di beberapa negara seperti di Australia dan Irlandia.
Ketiga, pemerintah perlu mendefinisikan standar kompetensi guru - terdiri dari kompetensi pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian - secara lebih terukur dan berorientasi kepada kualitas pembelajaran peserta didik.
Perubahan Undang-Undang Guru dan Dosen perlu dilakukan agar dapat mendorong berbagai pihak, termasuk Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di bawah Kemendikbud, untuk lebih baik dalam mempersiapkan calon guru yang memiliki karakteristik guru yang efektif.
Berbagai perubahan besar ini pasti membutuhkan proses yang melibatkan berbagai pihak termasuk pemerintah pusat, kementerian, pemerintah daerah, maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Belum lagi, perlu negosiasi dan lobi politik yang berpotensi menghambat proses perekrutan guru profesional.
Meskipun demikian, peningkatan profesionalisme guru melalui perekrutan yang efektif perlu dilakukan mulai dari sekarang demi masa depan pendidikan Indonesia yang lebih gemilang.