Foto: Novita Eka Syaputri
.
Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia.
.
Saat memperingati Hari Guru 25 November, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengajak para guru menjadi agen perubahan untuk kemerdekaan belajar di Indonesia. Salah satu poin yang dia tekankan di dalam pidato tersebut adalah agar guru tidak selalu menyeragamkan proses belajar bagi siswa dengan kebutuhan yang berbeda-beda.
Guru juga diimbau agar mengajak anak didiknya berdiskusi, bukan hanya menjadikan siswa sebagai pendengar atau penerima pasif dari kegiatan transfer ilmu pengetahuan.
Ajakan ini bukan tanpa didasari data. Hasil riset Bank Dunia pada 2014 menunjukkan bahwa dari 200 kelas matematika tingkat sekolah menengah pertama (SMP) disurvei, hanya sekitar 10% waktu pembelajaran yang dialokasikan untuk kegiatan diskusi.
Sementara itu, sekitar 60% waktu pembelajaran dialokasikan untuk kegiatan eksposisi atau menjelaskan materi. Dalam berinteraksi dengan siswa, studi yang sama menunjukkan bahwa waktu yang digunakan oleh guru berbicara adalah sekitar 75% dari waktu pelajaran.
Hasil pengamatan dalam laporan hasil studi tersebut cukup mengagetkan, mengingat banyak program pemerintah dalam satu dekade terakhir baik melalui LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan) maupun KKG (Kelompok Kerja Guru) yang telah mempromosikan perubahan paradigma dari pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Mengapa guru belum mengadopsi pembelajaran yang memerdekakan siswa untuk belajar? Cara dan pengalaman guru belajar di bangku kuliah pada masa lalu dan kurangnya rujukan penyelesaian soal dengan variasi metode di buku teks diduga menjadi penyebabnya.
Kemerdekaan belajar
Sebagai ilustrasi, dalam belajar perkalian di tingkat sekolah dasar, guru umumnya mengajarkan cara menyelesaikan soal perkalian dengan prosedur yang rumit untuk siswa usia sembilan tahun, yaitu dengan menggunakan metode susun ke bawah atau vertikal.
Dalam menghitung hasil perkalian dua bilangan, misalnya 11 x 25, maka hanya ada satu cara penyelesaian yaitu mengalikan kedua bilangan dengan cara yang dicontohkan oleh guru. Jika siswa tidak menggunakan cara yang dicontohkan oleh guru atau cara pengerjaan tidak sesuai dengan contoh pada buku teks, maka siswa dianggap tidak mendengarkan guru dengan saksama.
Lebih buruk lagi, cara pengajaran seperti itu telah membuat siswa Indonesia tidak terbiasa dapat menghitung operasi bilangan sederhana tanpa menggunakan prosedur baku yang dipelajari di sekolah.
Dalam sebuah artikel berjudul “A nation of dunces” (Bangsa yang lambat dalam belajar), seorang penulis menyampaikan contoh seorang penjual warung di Sulawesi Tengah yang bahkan harus menggunakan kalkulator untuk menghitung total yang harus dibayar pembeli atas 2 gelas kopi yang harga satuannya Rp2000 dan 2 buah kue yang harga satuannya Rp1000.
Artikel tersebut mempertanyakan kemampuan berhitung dasar yang bahkan tidak bisa dikuasai oleh orang dewasa di Indonesia.
Dua masalah mendasar
Ilustrasi pengajaran perkalian di atas sangat umum ditemukan di kelas-kelas di sekolah di Indonesia. Sebenarnya, banyak guru bukan tidak ingin mengubah cara mengajar mereka ke arah yang lebih baik. Namun guru seringkali tidak memiliki rujukan yang memadai mengenai bagaimana proses belajar mengajar yang memerdekakan siswa seharusnya terjadi.
Masalah tersebut setidaknya dapat dijelaskan oleh dua hal:
Pertama, dalam pendidikan mereka (dulu) sebagai siswa, mahasiswa calon guru, maupun dalam pelatihan sebagai guru dalam jabatan, guru tidak memiliki pengalaman dengan kemerdekaan belajar. Mereka terbiasa mendengarkan penjelasan dari guru dan dosennya dan mengerjakan tugas terstruktur tanpa banyak kegiatan diskusi terbuka untuk mengemukakan pendapat. Pengalaman personal yang kurang aktif ini “ditularkan” dalam proses mengajar pada siswanya saat mereka menjadi guru belasan hingga puluhan tahun berikutnya.
Kedua, buku teks pelajaran dan buku guru yang diterbitkan baik oleh pusat perbukuan maupun oleh penerbit swasta tidak memberikan referensi yang baik bagaimana memfasilitasi pembelajaran yang berpusat pada siswa dengan efektif. Buku teks yang ada saat ini, baik buku siswa maupun buku guru dinilai berkualitas rendah.
Selama bertahun-tahun, rendahnya kualitas buku ini diduga disebabkan oleh mafia buku. Nyatanya, ketika pintu bagi kecurangan dalam pengembangan dan penerbitan buku telah ditutup pun, kualitas buku teks pelajaran yang sepenuhnya dikembangkan dan diterbitkan oleh Pusat Perbukuan belum juga membaik.
Lalu, bagaimana guru dapat membantu agar siswa belajar dengan merdeka?
Dalam ilustrasi belajar perkalian di atas, alih-alih memberikan contoh prosedur penggunaan metode susun ke bawah, guru dapat mengarahkan siswa agar memiliki strategi penyelesaian soal yang lebih fleksibel, menggunakan hubungan antarangka (number bonds), dan mengarah pada penggunaan strategi mental calculation (menghitung di kepala).
Misalnya, dalam soal 11 x 25, siswa dapat memecah angka 11 menjadi 10 dan 1 (number bonds), kemudian mengalikan masing-masing angka dengan 25 (maksudnya 10 x 25 ditambah 1 x 25) dan menjumlahkan hasilnya hingga mendapat hasil 275. Siswa lain dapat juga mengerjakan dengan mengalikan 11 dengan 20 (11 x 20) kemudian menjumlahkannya dengan hasil kali 11 dengan 5 (11 x 5), atau dengan cara lain yang dapat lebih mereka pahami.
Berpikirlah sederhana
Seandainya kemerdekaan memilih strategi ini dapat diterapkan dalam pembelajaran di kelas sejak sekolah dasar, maka siswa akan dapat mengembangkan daya nalar lebih baik dan tidak sekadar menghafal prosedur maupun rumus. Daya nalar siswa tidak selalu harus diajarkan melalui soal-soal high order thinking skills (HOTS) atau keterampilan berpikir tingkat tinggi, yang hingga saat ini bahkan tidak dipahami dengan baik oleh para guru.
Model soal HOTS adalah soal yang membutuhkan analisis dan daya nalar tinggi, setidaknya dua langkah berpikir, untuk menyelesaikannya. Soal jenis ini tidak bisa diselesaikan langsung dengan mengaplikasikan suatu rumus.
Guru dapat memulainya dengan soal yang sederhana, namun memberikan kebebasan berpikir kepada siswa agar siswa dapat menemukan strategi belajar yang tepat untuk dirinya.
Untuk mencapai hal ini, guru membutuhkan dukungan dari semua pihak baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, manajemen sekolah, orang tua maupun masyarakat. Di antara dukungan yang dibutuhkan segera oleh guru adalah pendidikan dan pelatihan guru yang tepat baik secara isi maupun bentuk, keselarasan antara kurikulum dan penilaian hasil belajar siswa, serta penyajian buku teks dan buku panduan guru yang sesuai dengan semangat memerdekakan belajar.
Namun, seperti disampaikan oleh Menteri Nadiem, ketika perubahan di tempat lain belum dapat terwujud, guru diimbau untuk melakukan langkah kecil bermula dari dirinya di ruang kelas. Ketika perubahan kecil ini dilakukan secara konsisten dan serentak, kemajuan pendidikan di Indonesia tidak hanya lagi menjadi sekadar impian.
Selamat Hari Guru!