Tuesday, 28 July 2020

Kebijakan Pendidikan di Indonesia

Foto ilustrasi: Novita Eka Syaputri

 

Artikel ini merupakan bagian dari seri "Catatan Perjalanan Guru” dengan tema peraturan atau kebijakan yang ingin diubah.

 

Sejak saya pertama kali menjadi guru pada 2016, sampai dengan sekarang 2020, kebijakan pendidikan di Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan. Beberapa kebijakan yang menurut saya patut disayangkan adalah tentang diadakannya Ujian Nasional (UN), pembuatan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang membebani guru, dan kesenjangan apresiasi pemerintah terhadap guru PNS dan guru honorer.

 

Dampak UN terhadap Guru

Seperti yang kita ketahui, pada tahun-tahun sebelumnya setiap sekolah, dari tingkat SD sampai SMA, melaksanakan UN. Materi UN pada tiap tingkatan ini sangat padat dan cenderung menguji penguasaan aspek kognitif saja. Padahal, pembelajaran di sekolah mencakup tiga aspek, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor.

Bisa dibilang, pelaksanaan UN tidak menilai siswa secara menyeluruh. Sangat disayangkan dulu UN dijadikan indikator keberhasilan individu siswa, sehingga menjadi beban tersendiri bagi guru, siswa, maupun wali murid. Dengan adanya UN, guru menjadi terpaku pada aspek kognitif saja agar siswa dapat mengerjakan soal-soal UN dengan lancar. Serangkaian try out pun dilakukan pada jenjang SD, khususnya kelas 6, ditambah lagi jam belajar tambahan yang disebut “pemantapan”.

Pada semester 1 dan semester 2 tahun ajaran 2019/2020, di sekolah tempat saya mengajar mengadakan try out dan pemantapan–saat itu kebijakan UN masih berlaku. Adanya pemantapan dan try out ini menjadi polemik di SD tempat saya mengajar. Anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang ada digunakan hanya untuk beberapa kali try out dan pemantapan. Sementara itu, orang tua yang khawatir terus mendesak pihak sekolah untuk mengadakan try out dan pemantapan lebih sering lagi.

Pada akhirnya sekolah mengadakan try out dan pemantapan lebih intensif sesuai permintaan orang tua murid. Orang tua senang dengan adanya try out dan pemantapan yang intensif ini. Di sisi lain, try out dan pemantapan yang lebih intensif ini menjadi beban bagi guru kelas 6 karena bukan hanya melebih jam mengajar, tetapi juga tidak ada apresiasi tambahan dari sekolah. Padahal, kebanyakan guru kelas 6 di SD tempat saya mengajar berstatus honorer.

 

RPP yang Membebani Guru

Dulu saya kira menjadi guru itu mudah. Setelah berkuliah dan mengikuti program Pendidikan Profesi Guru (PPG), kemudian mengajar di sekolah, saya baru menyadari bahwa menjadi guru itu ternyata bukan pekerjaan yang mudah. Guru dibebani dengan tugas administratif yang banyak, termasuk menyusun RPP. Guru diminta mengikuti format RPP secara kaku–yang terdiri dari banyak sekali komponen.

Penyusunan RPP ini sangat menghabiskan waktu. Satu dokumen RPP bisa mencapai lebih dari 20 halaman! Waktu yang dihabiskan untuk membuat RPP seharusnya bisa digunakan untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran. Guru bisa membuat RPP dengan baik bila ia memiliki manajemen waktu yang baik dan melek teknologi informasi. Kenyataannya, tidak semua guru bisa seperti itu.

 

Kebijakan Merdeka Belajar

Pada 11 Desember 2019, kebijakan Merdeka Belajar diluncurkan. Pokok-pokok kebijakannya tentang UN dan RPP. Saya sangat mendukung kebijakan ini karena tampaknya bertujuan mengatasi masalah pendidikan di Indonesia sebelumnya. Dalam kebijakan ini, UN diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Penerapan RPP pun diubah menjadi 1 halaman saja.

Saat ini, pendidikan di Indonesia masih berada di masa transisi dalam menerapkan kebijakan ini. Di sekolah tempat saya mengajar belum ada sosialisasi yang terperinci mengenai penerapan kedua hal tersebut. Saya berharap sosialisasi segera dilaksanakan agar penerapan kebijakan tersebut di tingkat sekolah bisa berjalan dengan benar.

 

Kesenjangan Apresiasi Guru

Satu hal lain soal pendidikan di Indonesia yang menjadi keprihatinan saya berkaitan dengan apresiasi yang diberikan pemerintah kepada guru. Ada kesenjangan yang cukup lebar antara gaji guru PNS dengan gaji guru honorer. Kebanyakan guru honorer hanya mendapat honor sekadarnya. Padahal tugas guru honorer sama beratnya dengan guru PNS.

Sekarang ada perubahan kebijakan soal alokasi dana BOS untuk guru honorer, yaitu menjadi maksimal 50 persen dan minimal 30 persen. Sebelumnya, alokasi dana BOS untuk guru honorer maksimal hanya 15 persen. Meski sudah ada perubahan, namun, dampaknya kurang berarti. Gaji guru honorer di lingkungan saya masih di bawah 1 juta rupiah per bulan. Ini masih jauh dari gaji guru PNS ataupun upah minimum kerja di wilayah sekolah tempat saya mengajar, Kabupaten Bandung.

Dengan semakin banyaknya universitas yang membuka jurusan pendidikan guru, terutama pendidikan guru sekolah dasar, semakin banyak pula lulusannya yang bergelar S.Pd. Sekolah memang sudah dilarang menerima guru honorer, namun, karena banyak sekolah yang masih kekurangan guru, perekrutan guru honorer pun tak bisa dihindari. Akibatnya, semakin banyak guru honorer yang menggantikan guru PNS, namun dengan tingkat kesejahteraan yang sangat timpang.

Untungnya, tahun ini dibuka seleksi CPNS untuk guru. Saya dan rekan-rekan guru mengikutinya dengan segala usaha dan doa. Namun, kuota yang disediakan tidak bisa menampung seluruh lulusan pendidikan guru di Indonesia.

Selain kuota guru PNS, ada juga kebijakan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang diperuntukkan bagi guru honorer. Namun, ternyata tidak semua guru honorer bisa mengikutinya. Hanya guru honorer K-2 yang bisa mendaftar sebagai PPPK.

Harapan saya, pemerintah, terutama Pemerintah Kabupaten Bandung, bisa lebih memberikan kesejahteraan bagi guru honorer di wilayahnya. Kesejahteraan pendidik dapat memicu peningkatan mutu guru. Jika pemerintah memahami peran pendidikan adalah sentral dalam membentuk masa depan bangsa, seharusnya semua daerah juga berinvestasi besar dalam pendidikan.

 

* Catatan ini ditulis oleh RO, guru SD di Provinsi Jawa Barat.

** Semua tulisan yang dipublikasikan dalam Catatan Perjalanan Guru merupakan pandangan penulis, telah melalui proses penyuntingan untuk keperluan penulisan populer, dan tidak mewakili pandangan Program RISE di Indonesia ataupun penyandang dana RISE.


Bagikan Postingan Ini