Foto ilustrasi: Goldy F. Dharmawan
Artikel ini merupakan bagian dari seri "Catatan Perjalanan Guru” dengan tema berliku-liku mendapatkan pekerjaan sebagai guru.
Dalam perjalanan awal menjadi guru, saya tidak melamar, melainkan dilamar oleh sekolah.
Pada Ramadan 2015 saya sibuk dengan berbagai persiapan menjelang akhir kuliah, salah satunya melakukan penelitian. Saat sedang menyebar kuesioner ke sekolah-sekolah di wilayah Cempaka Putih di Jakarta, ponsel saya berdering. Saya tak mengenali nomor yang tampak di layar ponsel, jadi awalnya saya diamkan saja.
Tetapi, ponsel saya terus berbunyi. Akhirnya saya putuskan untuk mengangkatnya. Seorang perempuan di ujung telepon bertanya apakah benar dia menghubungi Bapak W yang berkuliah di Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di salah satu kampus di Jakarta. Saya terkejut. Dari mana dia bisa mengetahui informasi tersebut?
Saya lalu menanyakan maksud dan tujuannya menghubungi saya. Ibu tersebut meminta saya untuk datang ke sekolah tempat beliau bekerja dan menjadi guru di sana. Saya tentu saja kaget karena saya tidak pernah mengirim lamaran ke sekolah dasar (SD) yang cukup ternama di bilangan Jakarta Timur tersebut. Namun, saya juga tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Saya bilang saya akan datang keesokan harinya.
Esoknya saya ke sekolah yang dimaksud dan bertemu dengan ibu yang menghubungi saya kemarin – ternyata beliau adalah pimpinan sekolah itu. Kami berbincang cukup lama tentang kondisi terkini dunia pendidikan serta kurikulum baru saat itu, K-13, yang sedang ramai dibicarakan oleh para guru. Setelah selesai berbincang, ibu itu menantang saya untuk melakukan microteaching. Saya pun menyanggupinya dan kami bersepakat saya akan menjalani tantangan tersebut pada hari pertama siswa masuk sekolah pascalibur.
Beberapa minggu kemudian saya kembali ke sekolah itu dan membawa banyak media untuk melakukan microteaching. Saya membawa materi tentang bangun datar menggunakan sumpit dan lilin plastisin. Sesi mengajar saya awali dengan berkenalan dan ice-breaking dengan para murid. Proses mengajar berjalan sangat menyenangkan. Tiga orang yang terdiri dari ibu kepala sekolah, wali kelas, dan satu orang dari yayasan sekolah turut hadir di dalam kelas mengawasi saya mengajar.
Selesai melakukan microteaching, saya diajak ke ruang yayasan untuk dievaluasi. Ketiga orang yang mengawasi praktik mengajar saya di kelas memberikan respons positif. Pada hari itu juga saya langsung diangkat menjadi guru di SD tersebut.
Sekitar dua bulan kemudian saya ditetapkan menjadi staf kurikulum bagian karakter karena saya fokus pada pendidikan karakter. Selain itu, pada tahun pertama saya mendapatkan nilai kinerja yang sangat baik dari yayasan, pimpinan, dan orang tua siswa. Implikasinya, pendapatan saya naik hingga dua kali lipat. Hal itu terulang kembali pada tahun kedua dan ketiga saya mengajar di sekolah tersebut.
Pada tahun ketiga, saya berniat meningkatkan kemampuan diri dengan mendaftar ke Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Prajabatan. Setelah melalui tahapan seleksi, saya diterima di program tersebut. Mengingat agenda Program PPG cukup padat, saya terpaksa mengundurkan diri dari sekolah tempat saya mengajar. Selama sepuluh bulan berikutnya saya fokus pada kegiatan PPG dan selesai tepat waktu.
Setelah resmi menyandang gelar guru profesional (Gr.) saya memberanikan diri untuk mengikuti seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Sejak jauh-jauh hari saya mempersiapkan diri untuk mengikuti tes seleksi. Waktu itu saya pikir akan lebih enak bila belajar secara berkelompok. Saya lalu membuat kelompok belajar PNS yang terdiri dari tujuh orang. Tiap Sabtu dan Minggu kami berkumpul untuk membahas soal-soal yang kemungkinan akan keluar dalam tes CPNS. Jumlah orang yang tergabung dalam kelompok itu pun terus bertambah hingga akhirnya berjumlah 18 orang. Kami sangat solid dan bersungguh-sungguh mempersiapkan diri menghadapi tes seleksi CPNS.
Hasilnya, kami semua lulus tes seleksi tahap pertama, yaitu tes kompetensi dasar (TKD) yang diselenggarakan secara online. Kami pun semakin giat belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi tes kedua. Saat hasil tes diumumkan, hanya 14 orang dari kami yang lulus, salah satunya adalah saya.
Kini saya bertugas sebagai guru berstatus CPNS di salah satu SD negeri di Jakarta Timur.
Saya mungkin termasuk salah satu orang yang paling beruntung di dunia ini.
Sampai sekarang masih menjadi misteri siapa yang merekomendasikan saya kepada sekolah tempat saya bekerja pertama kali.
* Catatan ini ditulis oleh WI, guru SD di Provinsi DKI Jakarta.
** Semua tulisan yang dipublikasikan dalam Catatan Perjalanan Guru merupakan pandangan penulis, telah melalui proses penyuntingan untuk keperluan penulisan populer, dan tidak mewakili pandangan Program RISE di Indonesia ataupun penyandang dana RISE.