Foto ilustrasi: Novita Eka Syaputri
Artikel ini merupakan bagian dari seri "Catatan Perjalanan Guru” dengan tema berliku-liku mendapatkan pekerjaan sebagai guru.
Kata orang, salah satu jurusan di universitas yang lulusannya mudah mendapatkan pekerjaan adalah bidang keguruan. Ini mungkin benar karena lulusan ilmu keguruan sudah memiliki jalur pekerjaan yang terarah, yaitu menjadi guru. Namun, berprofesi sebagai guru bukan sekadar untuk mendapatkan uang. Guru profesional harus mampu memegang banyak nilai dan prinsip yang benar. Sampai sekarang saya masih berusaha menerapkan semua itu.
Cepat Mendapat Pekerjaan
Perjalanan awal saya menjadi guru bisa dibilang cukup mudah. Sebelum lulus kuliah, saya sudah mendapat panggilan kerja dari satu sekolah swasta di kampung halaman saya, Purwokerto. Di sekolah itu ibu saya menjabat sebagai kepala sekolah.
Tawaran itu saya respons dengan baik walaupun sekolah itu termasuk biasa-biasa saja. Saya pikir, di mana pun bekerja, saya tetap harus memberikan kinerja terbaik. Pada waktu itu, sekolah yang menawari saya pekerjaan itu mencari guru untuk menggantikan guru-guru mereka yang akan pensiun secara bersamaan.
Pendapatan saya bekerja di sana sangat kecil, namun, saya selalu mengingat kembali tujuan awal menjadi guru, yaitu mendedikasikan hidup saya untuk mendidik. Selain itu, saya juga tidak tega membiarkan ibu saya kesulitan mencari guru karena kebanyakan pelamar tidak sreg dengan pendapatan yang ditawarkan oleh sekolah.
Mengajar di Tasikmalaya
Saya mulai bekerja di sekolah tersebut pada Maret 2015, tepat sebulan sebelum saya wisuda. Semua berjalan dengan baik dan menyenangkan. Saya mendapatkan rekan guru yang baik dan hubungan dengan orang tua pun baik. Awalnya saya mengira akan terus bekerja di sekolah itu. Namun, di tengah perjalanan saya menemui perbedaan prinsip dan visi pendidikan dengan yayasan yang menaungi sekolah. Sulit bagi saya untuk sepaham dengan prinsip dan visi tersebut karena sangat bertolak belakang dengan prinsip saya. Akhirnya, saya mengundurkan diri dari sekolah tersebut. Ibu saya juga mendukung pilihan saya untuk tidak melanjutkan masa kerja di sana.
Selama satu bulan selanjutnya saya mengajukan lamaran ke berbagai sekolah di beberapa kota besar. Ketika sedang menunggu panggilan wawancara, seorang teman lama ibu di Tasikmalaya menghubungi dan memberi tahu ada sekolah yang baru berdiri di sana sedang mencari tenaga guru. Saya sebenarnya tidak pernah berniat mencari pekerjaan di Tasikmalaya karena saya tidak familiar dengan kota itu. Selain itu, saya dan ibu juga ragu karena sekolah yang baru berdiri biasanya memiliki struktur dan pola kerja yang belum matang. Namun, saya pikir tidak ada salahnya mengirimkan CV.
Saya pun kembali menunggu selama beberapa hari hingga akhirnya dihubungi oleh sekolah di Tasikmalaya. Mereka mengundang saya untuk melakukan wawancara pada minggu berikutnya. Saya menyanggupi dan berangkat bersama ibu menuju Tasikmalaya.
Di luar dugaan dan ekspektasi saya, sekolah tersebut ternyata sudah memiliki visi dan misi yang jelas, bahkan memiliki pandangan yang sama dengan saya mengenai pendidikan. Saya pun merasa mantap untuk bekerja di sana. Saya secara resmi mulai bekerja di sekolah tersebut pada November 2015.
Bimbang dengan Program PPG
Pada 2017 saya mendapat informasi tentang Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Prajabatan Bersubsidi. Pada waktu itu saya tidak berniat mendaftar di program tersebut karena berdurasi selama setahun. Artinya, jika mengikuti program itu saya harus meninggalkan pekerjaan cukup lama, padahal saya sudah nyaman dengan suasana dan kondisi pada waktu itu.
Tetapi, ibu terus mendorong saya untuk mengikuti Program PPG dengan alasan saya akan mendapat banyak pengalaman dan pengetahuan baru. Akhirnya, pada hari terakhir pendaftaran saya pun memasukkan formulir dan meminta izin cuti kepada yayasan sekolah. Saya sangat bersyukur karena mereka menyetujui dan bahkan sangat mendukung keputusan saya untuk mengikuti Program PPG.
Tadinya, rencana pelaksanaan Program PPG adalah Juni 2017 sampai dengan Juni 2018. Tetapi, ternyata saya harus menunggu selama enam bulan untuk mendapatkan kepastian jadwal pelaksanaannya. Hal ini membuat saya malas melanjutkan rencana ikut PPG. Saya sempat menduga Program PPG Prajabatan Bersubsidi tidak jadi diselenggarakan. Saya pun berusaha melupakan program tersebut dan kembali bekerja .
Pada Desember 2017 saya mendapat kabar bahwa pelaksanaan Program PPG akan diumumkan sekitar Januari 2018 dan proses daftar ulang pada bulan berikutnya. Informasi itu bukannya membuat saya lega, tetapi justru membuat saya harus kembali mengumpulkan niat dan semangat untuk menempuhnya.
Ketika waktu pelaksanaan Program PPG tiba, saya merasa berat harus meninggalkan anak-anak didik saya. Saya pun mulai membangun semangat agar dapat menjalani PPG dengan baik.
Pelaksanaan Program PPG awalnya terasa berat dan membosankan. Bayangkan saja, beberapa materi pembelajarannya sudah pernah saya dapatkan saat menempuh pendidikan S-1. Selain itu, banyak tugas yang harus dikerjakan melebihi ketentuan dengan alasan supaya kami terbiasa bekerja keras dan melakukan sesuatu lebih dari yang diharapkan.
Semua itu terbukti ketika saya mulai terbiasa melakukan rutinitas yang “berdarah-darah” tersebut. Saya terbiasa bangun jauh lebih pagi untuk menyiapkan materi pengajaran dan menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dengan sangat detail. Tidak terasa, saya berhasil melalui dan menyelesaikan Program PPG dengan cukup baik dan kembali mengabdi di sekolah hingga saat ini.
Saya sungguh menikmati tiap proses yang saya jalani. Saya bersyukur karena dapat ikut merintis sekolah berbasis karakter yang selama ini saya idam-idamkan dan mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri melalui Program PPG Prajabatan Bersubsidi.
Saya sangat percaya bahwa pendidikan yang baik selalu dimulai dari pendidik yang baik pula. Good teacher, good education, good character, for a better world.
* Catatan ini ditulis oleh RCA, guru SD di Provinsi Jawa Tengah.
** Semua tulisan yang dipublikasikan dalam Catatan Perjalanan Guru merupakan pandangan penulis, telah melalui proses penyuntingan untuk keperluan penulisan populer, dan tidak mewakili pandangan Program RISE di Indonesia ataupun penyandang dana RISE.