Wednesday, 24 February 2021

Menjadi Guru karena Panggilan Jiwa

Foto ilustrasi: Tony Liong

 

Artikel ini merupakan bagian dari seri "Catatan Perjalanan Guru” dengan tema seandainya bisa mengulang waktu, apakah akan tetap menjadi guru?

 

Bila saya bisa mengulang masa lalu, saya akan tetap memilih menjadi guru. Pekerjaan sebagai guru itu tidak monoton. Banyak hal yang bisa dilakukan, dan setiap hari bertemu dengan watak dan karakter siswa yang berbeda-beda. Guru setiap hari menghadapi anak yang lugu dan tulus bagai kertas putih yang harus dituliskan jalan ceritanya ke depan. Itu mempengaruhi bagaimana bangsa kita kelak.

Banyak hal yang membuat profesi guru dipandang sebelah mata. Ada yang menganggap profesi guru kurang menjanjikan dari segi materi dan popularitas. Guru juga sering dianggap sebagai profesi “kelas dua” dibandingkan dokter. Padahal, profesi guru tidak kalah penting dan tidak kalah sulit daripada profesi dokter.

Seiring berjalannya waktu, profesi guru semakin diminati karena bidang pekerjaan lain semakin sempit, sedangkan lowongan guru semakin lebar. Meskipun begitu, menjadi guru tetap tidak mudah. Banyak yang kemudian mundur dan beralih profesi karena guru merupakan panggilan jiwa. Setiap jiwa yang terpanggil menjadi guru akan merasa nyaman dan enjoy menjalani profesi ini.

Selain karena panggilan jiwa, saya bertahan menjalani profesi ini karena guru adalah pekerjaan yang paling membawa berkah. Menurut agama Islam yang saya peluk, ketika manusia meninggal, hanya tiga amalan yang dibawa ke liang kubur, yaitu amal jariyah, anak yang saleh, dan ilmu yang bermanfaat. Dengan menjadi guru, saya akan mendapat amalan ketiga hingga akhir hayat.

 

* Catatan ini ditulis oleh WI, guru SD di Provinsi DKI Jakarta.

** Semua tulisan yang dipublikasikan dalam Catatan Perjalanan Guru merupakan pandangan penulis, telah melalui proses penyuntingan untuk keperluan penulisan populer, dan tidak mewakili pandangan Program RISE di Indonesia ataupun penyandang dana RISE.


Bagikan Postingan Ini