Foto ilustrasi: Mukti Mulyana
Artikel ini merupakan bagian dari seri "Catatan Perjalanan Guru” dengan tema guru ideal.
Pagi ini, dari balik jendela kantor guru, saya melihat mentari menyingsing di ufuk timur. Dalam benak saya masih terbayang pertanyaan sejak semalam: seperti apakah sosok guru ideal? Bagaimana caranya menjadi guru yang ideal?
Di pojok kantor guru terdapat foto Presiden Indonesia pertama, Ir. Soekarno, dengan kutipan “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya”. Melihat foto itu, saya pun mendapat inspirasi untuk mulai mengetik.
Ciri-ciri guru ideal
Menjadi guru ideal adalah impian setiap pendidik; sosoknya selalu didambakan oleh peserta didik. Guru ideal mampu menyelami hati peserta didiknya sehingga ia menjadi panutan bagi lingkungannya. Guru ideal selalu dirindukan karena mampu membangun karakter setiap peserta didiknya.
Guru ideal merupakan pengganti orang tua yang mampu memberikan pendidikan kognitif, afektif, dan psikomotorik bagi anak didiknya. Sosok yang mampu menciptakan suasana kelas lebih hidup, lebih aktif, dan menyenangkan. Guru ideal tidak akan pernah kehabisan cara untuk mentransfer ilmunya menjadi pembelajaran nyata.
Guru ideal sanggup “menghipnotis” peserta didiknya, dari yang semula murung, sedih, kurang semangat, dan malas, menjadi ceria dan mampu mencapai keinginannya. Sosok guru seperti itulah yang dirindukan oleh peserta didik. Sosok yang paham akan tanggung jawab dan profesinya, serta karakter setiap peserta didiknya.
Guru ideal tidak cukup sebatas bisa mengajar atau menjelaskan pelajaran hingga menjadi mudah dipahami. Terlalu sempit bila guru ideal diartikan sebatas keahlian profesi atau pekerjaan.
Guru ideal juga harus memiliki ciri-ciri berikut:
- Mampu menciptakan karakter pembelajaran yang mengena di hati peserta didik. Dengan demikian, pembelajaran yang kontekstual pun dapat terwujud.
- Mampu menjawab semua tantangan zaman dengan beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang semakin maju.
- Mampu disiplin dengan waktu, termasuk dalam mengaplikasikannya ke pembelajaran.
- Mampu mengendalikan emosi sehingga tidak mengganggu proses mengajar. Dengan demikian, ia dapat bijak dalam menanggapi berbagai persoalan.
- Mampu menciptakan materi pembelajaran yang memancing kreativitas dan inovasi. Dengan demikian, aktivitas belajar bukan sebatas transfer of knowledge, tetapi lebih ke pembelajaran yang bermakna (meaningful learning).
- Mampu membuat rencana pembelajaran yang dapat dilaksanakan.
Bahasan seperti itulah yang dapat dimunculkan ketika seorang pendidik terjun ke dalam dunia pendidikan. Guru tidak hanya memiliki satu jenis kecerdasan, melainkan kompilasi dari berbagai bidang kecerdasan yang terpancar dari karakter dan perilakunya.
Guru juga harus memiliki empat kompetensi dasar sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 14/2015 tentang Guru dan Dosen, yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Butuh proses panjang
Dibutuhkan proses panjang untuk bisa menjadi guru ideal; guru harus melalui proses belajar dari banyak sumber. Guru harus bisa menata hati dan pikiran bahwa menjadi guru ideal adalah target kesuksesan seorang pendidik. Karakter guru ideal akan terbentuk setelah seorang pendidik menjalani proses belajar yang panjang tersebut.
Guru ideal harus memiliki kecakapan akademis maupun non-akademis, seperti bidang keilmuan yang serumpun, intrakurikuler, dan ekstrakurikuler. Dengan kualifikasi pendidikan yang sesuai, ditunjang dengan pendidikan keprofesian, maka akan tercipta guru ideal yang cerdas.
Untuk bisa menjadi seorang guru ideal, seorang guru harus bisa membangun dirinya, serta mengarahkan dirinya menjadi pribadi yang sadar akan profesi dan tanggung jawab yang besar. Bangsa dan negara ini membutuhkan guru yang tidak hanya cerdas dan intelek, namun juga yang berkarakter, sehingga dapat menjadi teladan bagi peserta didiknya.
* Catatan ini ditulis oleh TBS, guru SD yang berasal dari Provinsi Jawa Barat.
** Semua tulisan yang dipublikasikan dalam Catatan Perjalanan Guru merupakan pandangan penulis, telah melalui proses penyuntingan untuk keperluan penulisan populer, dan tidak mewakili pandangan Program RISE di Indonesia ataupun penyandang dana RISE.