Foto ilustrasi: Novita Eka Syaputri
.
Artikel ini dimuat ulang dari Anotasi.
.
Sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar dan cakupan wilayah yang luas, Indonesia menghadapi banyak ketimpangan, termasuk dalam bidang pendidikan. Apa yang dimaksud sebagai ketimpangan pendidikan di Indonesia?
Bentuk ketimpangan pendidikan yang paling mudah untuk dipahami adalah ketidaksetaraan akses terhadap sekolah dan fasilitas belajar. Pemerintah telah berhasil melakukan pemerataan pembangunan infrastruktur di berbagai daerah sehingga memudahkan akses siswa untuk pergi ke sekolah. Dukungan teknologi juga diberikan kepada sekolah, dan dengan ketersediaan jaringan internet yang semakin luas, dapat dimanfaatkan untuk mendukung proses belajar mengajar.
Meskipun demikian, kualitas pendidikan tidak serta-merta meningkat seiring dengan perbaikan akses terhadap sarana dan prasarana belajar. Penyetaraan akses terhadap pendidikan justru semakin memperjelas karakteristik ekosistem pendidikan di Indonesia yang sangat politis, sehingga cenderung memihak pada golongan masyarakat tertentu, misalnya kaum urban dan kalangan sosio-ekonomi tinggi.
Kualitas guru adalah salah satu indikator proses pengambilan keputusan, baik di level nasional maupun regional. Politisasi pendidikan dimulai dari proses perekrutan guru yang disamakan dengan rekrutmen calon pegawai negeri sipil (CPNS). Proses ini menempatkan peran utama guru sebagai pegawai pemerintah, bukan sebagai tenaga pendidik.
Ada dua konsekuensi dari peran ganda guru. Pertama, terdapat oknum-oknum yang memilih menjadi guru untuk mendapatkan jaminan dan fasilitas negara sebagai PNS. Hasilnya adalah guru-guru yang berfokus pada birokrasi, bukan pada strategi pedagogi. Hal ini berakibat pula pada prinsip senioritas dalam kultur kerja guru. PNS umumnya mendapat kenaikan pangkat sesuai dengan masa pelayanan jabatannya. Ketika pola ini diterapkan dalam sekolah, posisi strategis pengambilan keputusan berada di tangan birokrat—bukan pendidik—yang menyebabkan pembelajaran di Indonesia menekankan pada hafalan teori untuk menyesuaikan dengan daftar kompetensi siswa yang diharapkan, ketimbang pemahaman siswa itu sendiri.
Kedua, sistem perekrutan guru melalui jalur seleksi CPNS menyebabkan distribusi guru yang tidak rata dan tidak sesuai dengan kebutuhan daerah. Distribusi guru diatur berdasarkan kuota nasional, padahal setiap daerah memiliki kebutuhan unik yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan jumlah dan kualifikasi guru yang diperlukan. Untuk mengatasi kekurangan jumlah guru di daerah, maka sekolah menempuh jalur perekrutan guru honorer—yang kemudian berkembang menjadi permasalahan baru. Guru honorer berada di luar kebijakan dan pengawasan pemerintah. Akibatnya, kualitas guru honorer tidak terstandarisasi, dan di sisi lain, mereka pun sering menghadapi keterlambatan pembayaran upah serta ketidakjelasan jenjang karir.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menjadi dasar pengaturan kualifikasi, pengangkatan, dan penghasilan guru tidak menjelaskan mengenai pembagian tanggung jawab antara pemerintah di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten, serta tidak menjelaskan peran dan tanggung jawab sekolah terhadap guru.
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menekankan bahwa rekrutmen dan pengembangan karier tenaga pendidik adalah kewenangan pemerintah pusat, dan pemerintah daerah hanya bertanggung atas distribusi guru (yang telah ditentukan oleh pusat) di wilayah masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan maupun untuk menarik calon guru yang berkualitas.
Akibatnya, rekrutmen guru honorer berisiko untuk digunakan sebagai alat politik, misalnya: jumlah rekrutmen ditingkatkan menjelang Pilkada untuk menarik dukungan masyarakat. Selain itu, ada pula harapan yang disebarkan di masyarakat bahwa guru honorer dapat diangkat menjadi guru tetap dalam sistem kepegawaian sipil setelah masa pelayanan tertentu. Hal ini kembali menarik motivasi yang salah terhadap profesi guru.
Permasalahan distribusi, motivasi, dan manajemen guru sebagai tenaga pendidik berdampak pada kualitas pembelajaran siswa. Daerah-daerah yang memiliki kelembagaan pemerintah yang kuat dapat menerapkan sistem khusus yang dapat menjamin kualitas dan distribusi guru, baik tetap maupun honorer. Sebagai contoh: di Kota Bukittinggi, calon guru honorer harus memenuhi standar minimum sertifikasi guru sebelum mereka mengabdi sebagai tenaga pendidik. Namun, setiap pemerintah daerah memiliki pendekatan dan kemampuan yang berbeda untuk menerapkan kebijakan atas standarisasi kualitas guru. Disinilah terlihat kesenjangan kapasitas antara daerah urban dan rural yang membuat ketimpangan pendidikan semakin nyata.
Lalu, apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah ini?
Menyusun standar profesi guru
Selama ini, posisi guru dibuka sesuai dengan standar perekrutan pegawai sipil, tanpa adanya kriteria profesional sebagai tenaga pengajar. Oleh karena itu, guru-guru yang direkrut belum tentu memiliki keterampilan pedagogi untuk mendidik siswa. Penentuan standar profesi guru sebagai tenaga profesional—seperti layaknya sertifikasi akuntan dan dokter—akan menjelaskan kepada masyarakat akan keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi seorang guru, dan bahwa tidak sembarang orang dapat mengajukan diri untuk menjadi tenaga pendidik. Dengan demikian, diharapkan bahwa para tenaga pendidik yang direkrut memahami strategi mengajar, dapat berkontribusi pada inovasi sistem dan kurikulum pendidikan, dan kelak dapat memajukan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Transparansi data dan proses rekrutmen guru
Meskipun diketahui bahwa ada daerah-daerah yang kekurangan guru, belum ada data lengkap terkait jumlah dan sebaran guru di Indonesia. Sejauh ini, informasi terkait kebutuhan guru umumnya hanya diketahui oleh segelintir pejabat daerah tanpa adanya mekanisme yang jelas untuk disampaikan ke pemerintah pusat, maupun dipertanggungjawabkan ke publik. Minimnya informasi terkait kebutuhan tenaga pendidik membuat perhatian pemerintah seringkali teralihkan. Misalnya: pemerintah daerah tidak dapat menyusun anggaran untuk merekrut tenaga pendidik tanpa kejelasan akan jumlah yang dibutuhkan. Akibatnya, profesi guru juga minim insentif, dan sulit untuk menarik minat calon guru dengan keterampilan yang sesuai. Informasi terkait perkembangan sektor pendidikan, termasuk lowongan guru dan jumlah kebutuhan guru di daerah, perlu untuk dibuka bagi publik guna meningkatkan perhatian masyarakat terhadap isu pendidikan serta mendorong minat terhadap profesi guru.
Tentu saja, kedua rekomendasi di atas hanyalah langkah kecil dalam keseluruhan rangkaian perbaikan sistem pendidikan di Indonesia. Namun, tanggung jawab ini tidak hanya berada di tangan pemerintah Indonesia saja. Setiap warga negara juga memiliki kepentingan untuk mendorong pemerintah untuk bertindak dan mengambil langkah demi kemajuan pendidikan. Sebagai negara demokrasi, partisipasi publik adalah kunci dalam menjaga akuntabilitas pemerintah terkait isu-isu kemaslahatan umat, termasuk kemajuan pendidikan.
Perubahan kebijakan pemerintah membutuhkan partisipasi warga yang aktif dan komunitas yang kritis. Salah satu kontribusi yang dapat kita lakukan sekarang adalah membangun dialog tentang nilai-nilai yang dibutuhkan dari sistem pendidikan serta tenaga pendidik guna menghasilkan sumber daya manusia yang tidak hanya hafal ilmu pengetahuan, tetapi memiliki pemahaman untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dialog tersebut bisa dilakukan dengan guru dan kepala sekolah, kelompok masyarakat, maupun dengan keluarga masing-masing. Melalui kontribusi sederhana ini, kita berharap dapat meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya pendidikan, dan pentingnya mengatasi masalah ketimpangan sebagai faktor penentu kualitas pendidikan Indonesia.
Catatan penulis:
1. Pengertian ketimpangan pendidikan
Ketimpangan pendidikan adalah ketidaksetaraan akses terhadap sekolah dan fasilitas belajar.
2. Indikator kualitas pendidikan
Kualitas pendidikan tidak akan otomatis membaik hanya dengan perbaikan akses terhadap sarana dan prasarana belajar. Indikator penting lain adalah kualitas guru.
3. Ekosistem pendidikan di Indonesia
Sayangnya, karakteristik ekosistem pendidikan di Indonesia sangatlah politis.
4. Solusi terhadap ketimpangan pendidikan di Indonesia
Ada dua solusi yang bisa dijalankan: (1) menyusun standar profesi guru di Indonesia dan (2) transparansi data dan proses rekrutmen guru.
Aris Huang sebelumnya adalah analis tamu dengan fokus pada pendidikan, budaya, demokrasi dan pemerintahan di Indonesia. Aris membantu RISE untuk menghasilkan analisis kualitatif tentang konsekuensi sosial dan politik dari desain dan implementasi kebijakan pendidikan Indonesia. Aris memegang gelar master dalam hubungan internasional dari The University of Melbourne. Sebelumnya, Aris adalah anggota departemen Kajian Indonesia di Monash University dan The University of Melbourne.