Foto ilustrasi: Goldy F. Dharmawan
Artikel ini merupakan bagian dari seri "Catatan Perjalanan Guru” dengan tema pengalaman berkesan selama menjadi guru.
Ini adalah kali pertama saya mengajar di sekolah negeri. Saya ditugaskan mengajar kelas 4 di salah satu SD negeri di Jakarta. Saya mendapat informasi bahwa di kelas yang akan saya ajar ada seorang siswa berkebutuhan khusus.
Namun, di hari pertama siswa kelas 4 masuk sekolah, saya tidak dapat bertemu langsung dengan mereka. Sebagai guru berstatus calon pegawai negeri sipil (CPNS), saya bersama rekan-rekan CPNS lain harus masuk asrama terlebih dahulu untuk mengikuti pelatihan dasar selama 40 hari. Selama masa pelatihan itu, saya sangat penasaran dengan profil siswa-siswa yang akan saya ajar nanti. Namun, saya harus menunggu sampai pelatihan selesai untuk bisa bertemu dan berkenalan dengan mereka.
Berkenalan dengan para siswa
Setelah 40 hari berlalu, saya pun kembali ke sekolah tempat saya mengajar. Saya berkenalan dengan seluruh siswa kelas 4 yang hebat. Saya mengajak mereka membuat peraturan kelas yang disepakati bersama untuk setahun ke depan, serta membuat target dan program kegiatan kelas yang akan dimulai.
Pada minggu pertama, saya sempat syok ketika siswa berkebutuhan khusus di kelas saya mengamuk tak terkendali dan tanpa sebab. Teman-temannya bilang siswa tersebut memang seperti itu, suka mengamuk tanpa sebab, berjalan-jalan ke luar kelas, serta berteriak-teriak tak terkendali.
Saya waktu itu belum terlalu paham harus bagaimana. Hari demi hari berlalu, saya selalu mencatat perilaku anak berkebutuhan khusus tersebut. Saya mengobservasi kegiatan yang ia lakukan dan dari catatan yang saya buat, terlihat bahwa banyak hal yang ia lakukan di luar kebiasaan anak pada umumnya.
Setelah merasa memiliki data yang cukup, saya lalu mencoba berdiskusi dengan orang tua siswa berkebutuhan khusus tersebut. Ternyata benar, orang tuanya mengatakan anak mereka memiliki kondisi khusus autisme dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Hal itu dibuktikan oleh orang tua dengan menunjukkan surat keterangan dari psikolog.
Namun, ibu anak itu tidak mau anaknya dibilang berkebutuhan khusus. Dugaan saya karena ia tidak mau anaknya mendapat stigma negatif di masyarakat. Secara pribadi, saya merasa tugas saya adalah melayani semua anak karena pada hakikatnya tiap anak berhak mendapatkan pendidikan. Hanya, saya berpikir saya perlu menyesuaikan pendekatan dalam mengajar khusus untuk anak dengan kebutuhan khusus tersebut.
Perlu pendekatan khusus
Saya lalu mulai dengan pendekatan pribadi kepada siswa istimewa tersebut. Saya mencoba “masuk” ke dunianya, menemaninya bermain dan belajar saat di kelas, sampai di bulan keempat emosi anak tersebut lebih terkendali. Namun, ia masih belum bisa fokus dalam belajar dan tidak dapat mengikuti materi pembelajaran kelas 4. Saya anggap itu sebagai tantangan untuk menyesuaikan materi belajar bagi si siswa istimewa.
Saya pun mencoba mencari tahu lebih jauh tentang autisme dan ADHD dari berbagai sumber agar dapat lebih memahami siswa istimewa tersebut. Saya berusaha menyesuaikan materi pelajaran untuknya serta agar ia dapat belajar dengan nyaman di sekolah. Saya juga membuatkan program belajar di kelas secara berkelompok, dan setiap bulan anggota kelompok berganti agar siswa yang lain dapat berbaur dengannya.
Awalnya, upaya tersebut memang sulit karena si siswa istimewa tidak dapat berbaur dengan yang lain. Ia sering berlaku iseng kepada teman-temannya. Tetapi, saya mencoba memberi pengertian kepada siswa yang lain agar bisa menerima temannya yang memiliki kondisi khusus ini. Saat ini, siswa tersebut sudah mulai bisa berbaur dengan teman-temannya walaupun masih terbatas.
* Catatan ini ditulis oleh WI, guru SD di Provinsi DKI Jakarta.
** Semua tulisan yang dipublikasikan dalam Catatan Perjalanan Guru merupakan pandangan penulis, telah melalui proses penyuntingan untuk keperluan penulisan populer, dan tidak mewakili pandangan Program RISE di Indonesia ataupun penyandang dana RISE.