Tuesday, 23 February 2021

“Tersesat” di Jalan yang Benar

Foto ilustrasi: Novita Eka Syaputri

 

Artikel ini merupakan bagian dari seri "Catatan Perjalanan Guru” dengan tema seandainya bisa mengulang waktu, apakah akan tetap menjadi guru?

 

Waktu telah berlalu. Detik demi detik, hari demi hari, tahun demi tahun telah saya lalui dengan berbagai pertimbangan, rintangan, tantangan, keputusan, asa, semangat, keringat, tawa, penyesalan, tangis, dan juga kebahagiaan.

Kadang kala, sebagai manusia biasa, saya berangan-angan tentang waktu yang telah berlalu dan jalan yang sedang dilalui. Angan itu hadir ketika diri merasa jenuh, melihat teman sukses di usia muda, dan terkekangnya pergerakan diri karena jurusan yang diambil. Namun, semua itu sekadar angan yang tidak bisa saya wujudkan, bahkan tidak mungkin saya wujudkan karena banyak variabel yang harus dipertimbangkan.

 

Tidak Bercita-cita Menjadi Guru

Perjalanan hidup yang membawa saya menjadi guru bisa dibilang tidak sesuai dengan cita-cita semasa sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Namun, saya mempercayai takdir dan arus angin yang membawa cita-cita saya ke arah yang benar. Dan, ternyata benar, saya “tersesat” di takdir yang benar dan terbaik menurut orang tua dan oleh Yang Maha Kuasa.

Saya sekarang berprofesi sebagai guru. Jika dihitung dan digabung, masa kerja sebagai guru di berbagai lembaga pendidikan kira-kira sudah 2,5 tahun. Apakah selama itu itu saya pernah berpikir untuk memutar haluan dan tidak menjadi guru? jawabannya adalah “tidak”.

Saya tidak ingin memutar haluan. Saya akan tetap “menyesatkan” diri di jalan ini, yaitu berprofesi sebagai guru. Dan saya tidak memiliki penyesalan sama sekali akan pilihan ini.

 

Menjadi Guru Tidak Membosankan

Menuntaskan kuliah sarjana selama empat tahun di jurusan pendidikan guru sekolah dasar, kemudian melanjutkan studi profesi selama dua semester di Universitas Negeri Surabaya membuktikan bahwa saya telah mengukuhkan tekad di jalan ini. Sungguh nikmat rasanya, bahagia yang tidak dapat dijelaskan.

Saya menemukan saudara berbeda ibu di jurusan tersebut dan menjadi keluarga yang saya pilih sampai sekarang. Mereka adalah support system untuk cita-cita baru saya, yaitu meraih kesuksesan bersama-sama dan menjadi guru pegawai negeri sipil (PNS) bersama-sama.

Pada akhirnya, segala yang telah saya lalui memberikan seberkas sinarnya. Saya and sahabat-sahabat saya diterima sebagai PNS di daerah kami masing-masing. Pengalaman yang luar biasa. Hipotesis saya bahwa menjadi guru adalah pekerjaan yang membosankan ternyata salah.

Setelah menjalani profesi ini, saya menemukan hal yang luar biasa di dalamnya. Senyum para siswa, dukungan kepala sekolah dan rekan-rekan guru, karyawan yang begitu cair dan hangat, semuanya membuat saya bersyukur setelah “disesatkan” di jalan yang benar.

 

Tidak Ada Penyesalan

Dalam situasi pandemi ini, banyak orang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Sebagai guru, saya berada di zona yang jauh dari kebijakan PHK dan masih memperoleh gaji yang cukup.

Rasa syukur saya tidak cukup sampai di situ. Berkat doa dan kerja keras kedua orang tua, Allah memberikan hadiah kepada mereka yang mengharapkan saya kembali ke rumah dan tinggal bersama mereka. Saya diterima sebagai calon pegawai negeri sipil di kota tempat mereka tinggal.

Kesimpulannya, saya tidak memiliki penyesalan. Yang ada adalah bagaimana saya memperjuangkan keputusan yang telah dibuat dan mensyukuri apa yang terjadi.

 

* Catatan ini ditulis oleh BR, guru SD di Provinsi Jawa Timur.

** Semua tulisan yang dipublikasikan dalam Catatan Perjalanan Guru merupakan pandangan penulis, telah melalui proses penyuntingan untuk keperluan penulisan populer, dan tidak mewakili pandangan Program RISE di Indonesia ataupun penyandang dana RISE.


Bagikan Postingan Ini