Foto ilustrasi: Novita Eka Syaputri
.
Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia.
.
Pada 2030-2040, Indonesia diprediksi akan mengalami puncak masa bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (anak dan lansia).
Pada 2035, penduduk usia produktif akan mencapai 64% dari seluruh penduduk yang jumlahnya 297 juta jiwa.
Namun, pelaksanaan belajar dari rumah di Indonesia yang tidak efektif selama pandemi COVID-19 dapat menghapus peluang untuk mendapatkan manfaat dari bonus itu. Murid sekolah yang saat ini menjalani pembelajaran dari rumah pada sekitar tahun 2035 nanti akan memasuki dunia kerja.
Sayangnya, riset tahun 2020 dari lembaga penelitian SMERU mencatat bahwa proses belajar dari rumah di Indonesia menemui banyak hambatan dari ketimpangan akses fasilitas pembelajaran daring hingga tidak meratanya kemampuan guru.
Hal ini memperlebar kesenjangan antar murid di Indonesia – dengan hilangnya capaian belajar (learning loss) terburuk pada kelompok miskin – sehingga memperparah berbagai masalah buruknya kompetensi ketenagakerjaan yang sudah ada saat ini.
Bagaimana semua itu dapat mempengaruhi peluang emas ketenagakerjaan Indonesia di masa depan, dan apa yang harus dilakukan mulai sekarang untuk mengantisipasinya?
Kualitas pendidikan pekerja sudah rendah bahkan sebelum pandemi
Untuk memetik “anugerah” dari bonus demografi berupa keberadaan penduduk usia produktif yang melimpah, Indonesia harus memastikan kualitas pendidikan dan keterampilan mereka benar-benar baik, termasuk kesiapan menghadapi pasar tenaga kerja global yang kompetitif.
Namun, dalam hal ketenagakerjaan, Indonesia masih menghadapi dua tantangan besar terkait kualitas pendidikan dan kompetensi pekerja yang sudah ada bahkan sebelum munculnya belajar dari rumah akibat pandemi.
Pertama, sekitar 59% tenaga kerja saat ini merupakan lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan bahkan mayoritas lebih rendah.
Hasil capaian belajar para lulusan tersebut semasa sekolah – yang bahkan dilakukan secara tatap muka – juga sangat rendah.
Studi dari program Research on Improving Systems of Education (RISE-SMERU) tahun 2018 melaporkan bahwa mayoritas lulusan sekolah tingkat menengah belum menguasai kemampuan berhitung sederhana yang seharusnya telah dikuasai pada tingkat Sekolah Dasar (SD).
Kedua, pendidikan dan keterampilan yang didapatkan calon tenaga kerja semasa di sekolah pun tidak sesuai dengan kebutuhan dan minimum kompetensi. Akibatnya, dunia kerja sulit mendapatkan tenaga yang benar-benar dibutuhkan.
Berdasarkan catatan Lembaga Demografi (LD) di Universitas Indonesia yang mengolah hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2015, misalnya, terdapat ketidakcocokan tingkat pendidikan pekerja (‘vertical mismatch’) sebesar 53% dari seluruh angkatan kerja.
Artinya, para pekerja banyak yang tingkat pendidikannya lebih rendah dari yang dibutuhkan oleh tempat kerja mereka.
Selain itu, mayoritas pekerja juga mengalami yang disebut sebagai ‘horizontal mismatch’. Dalam kasus ini, selain tingkat pendidikannya sendiri, sebanyak 61% pekerja juga memiliki jenis pendidikan, kompetensi, atau pelatihan yang tidak pas dengan kebutuhan tempat mereka bekerja.
Memburuknya capaian belajar akan semakin mengancam bonus demografi
Kedua masalah di atas berpotensi menjadi semakin parah akibat belajar dari rumah yang tidak efektif di tengah pandemi.
Studi dari Bank Dunia, misalnya, memperkirakan bahwa pembelajaran di rumah yang tidak efektif menyebabkan hilangnya capaian belajar murid di Indonesia.
Lebih jauh lagi, dampak ini bahkan lebih parah bagi mereka yang berasal dari kelompok miskin. Belajar dari rumah yang buruk selama empat bulan saja akan memperlebar ketertinggalan capaian belajar antara kelompok pelajar miskin dari kelompok yang kaya di Indonesia – dari sebelumnya sudah tertinggal 1,4 tahun menjadi tertinggal 1,6 tahun proses pembelajaran.
Bagi murid dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang paling rentan, mereka bahkan harus menghadapi risiko pernikahan anak dan juga putus sekolah.
Tingkat pendidikan terakhir maupun capaian belajar yang semakin memburuk ini akan menyebabkan produktivitas dan daya saing mereka semakin rendah pula di masa depan.
Murid sekolah yang saat ini terkena dampak buruk dari belajar dari rumah yang tidak efektif, misalnya, diperkirakan akan memasuki angkatan kerja pada tahun 2030-an – atau pada masa puncak bonus demografi.
Padahal, di masa depan, peneliti memperkirakan 65% ragam pekerjaan sekarang akan digantikan oleh jenis pekerjaan baru yang belum terbayangkan dan menuntut berbagai kompetensi yang jauh lebih kompleks dari saat ini.
Kalau sistem pembelajaran kita tidak segera menemukan cara cepat dalam memperbaiki kualitasnya, mayoritas penduduk yang diperkirakan akan menjadi bagian bonus demografi tersebut akan terpinggirkan dalam dunia kerja modern dan formal.
Banyak pekerja Indonesia di masa depan justru dapat menjadi “beban” sebagai warga kelas dua di negeri sendiri.
Kebijakan pendidikan di daerah menjadi kunci
Sejak berlakunya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dua dekade yang lalu, urusan pendidikan dasar dan menengah menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Artinya, garda terdepan yang bertanggung jawab dalam memperbaiki kualitas pendidikan adalah berbagai aparatur dan institusi pendidikan daerah di seluruh Indonesia.
Dalam jangka pendek, pemerintah daerah harus bisa menuntun sekolah untuk pelan-pelan membuka kembali belajar tatap muka – tentu dengan mempertimbangkan faktor penyebaran COVID-19, kerentanan murid, dan kesiapan fasilitas kesehatan di daerah tersebut.
Begitu sekolah kembali buka, mereka juga harus mengarahkan sekolah untuk fokus pada pemulihan capaian belajar yang hilang selama pandemi, terutama pada murid miskin.
Secara jangka panjang, pemerintah daerah harus memperbaiki berbagai kebijakannya yang selama ini belum efektif.
Pada tahun 2018, program RISE-SMERU menemukan bahwa hanya 62 dari 508 – atau sekitar 12% – kabupaten/kota di Indonesia yang mempunyai kebijakan pendidikan yang inovatif.
Secara umum, peneliti kami menemukan bahwa berbagai kebijakan pendidikan daerah selama ini belum efektif meningkatkan capaian pembelajaran.
Banyaknya kebijakan pelatihan guru, misalnya, tidak berkorelasi dengan nilai Ujian Nasional (UN) SMP masing-masing kabupaten/kota.
Artinya, masih ada celah besar antara kebutuhan pendidikan di daerah dengan kebijakan yang dikeluarkan, serta perlu lebih banyak penelitian dan studi untuk mencari solusi alternatif di level daerah sebelum terlambat.
Yang jelas, mengingat rendahnya kualitas hasil pembelajaran yang ada, tidak ada pilihan bagi para aparatur pendidikan yang bekerja di kementerian, dinas pendidikan daerah, dan sekolah – dari menteri sampai guru – selain untuk bekerja lebih keras dan melakukan evaluasi secara besar-besaran terhadap berbagai kebijakan pendidikan yang sudah dilakukan.
Apabila ini diabaikan, maka bonus demografi Indonesia tidak akan punya banyak arti. Alih-alih menjadi anugerah, mereka justru dapat menjadi beban berat bagi bangsa.