Foto ilustrasi: Novita Eka Syaputri
Artikel ini merupakan bagian dari seri "Catatan Perjalanan Guru” dengan tema pengalaman berkesan selama menjadi guru.
Saya adalah seorang guru yang telah menyelesaikan Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Kota Bogor. Sebagai guru umum tugas saya adalah mengajarkan matematika, Bahasa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), ilmu pengetahuan alam (IPA), ilmu pengetahuan sosial (IPS) seni budaya dan prakarya (SBdP), dan muatan lokal.
Saya bukan guru olahraga. Saya bukan guru bahasa Inggris. Saya juga bukan guru mata pelajaran agama. Tetapi, apabila diminta untuk mengajarkan itu semua, saya bisa. Saya mempunyai sedikit modal tentang semua pelajaran itu.
Berkarier di Jakarta
Setelah lulus PPG, saya langsung terpikir untuk melamar pekerjaan di sekolah yang bagus untuk meniti karier. Mata dan hati saya tertuju pada Jakarta. Saya lalu mencari lowongan pekerjaan sebagai guru di Jakarta. Saya mengirimkan lamaran ke banyak sekolah dan mendapat panggilan wawancara dari salah satu sekolah Islam di Jakarta Selatan.
Pada hari pertama saya ke sekolah tersebut, saya langsung diangkat menjadi guru. Pada pertemuan kedua, saya diberi tahu bahwa saya akan mengajar menggunakan Kurikulum 2013 dan Kurikulum Cambridge. Di sekolah itu juga ada program tahfidz yang menuntut semua guru memiliki kemampuan mengajar mata pelajaran agama Islam. Dari kedua pertemuan itu, saya menyimpulkan bahwa saya harus bisa mengajarkan berbagai mata pelajaran. Saya pun memutuskan untuk menerima tantangan menjadi guru di sekolah tersebut.
Mendapat Tugas Baru
Saya mulai bekerja sebagai guru pada Februari 2019. Pada awalnya, tugas saya tidak banyak, hanya mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Bahasa Sunda, PKn, dan SBdP. Pengaturan ini berlangsung hingga tahun ajaran berakhir.
Di tahun ajaran baru, yakni 2019/2020, saya mendapat tugas baru. Saya diminta mengajar kelas 1, 2, dan 3. Awalnya saya tidak keberatan karena merasa tidak akan ada hal buruk yang terjadi dengan mengampu tiga kelas. Tetapi, perkiraan saya ternyata salah; hal buruk terjadi.
Saya diminta mengajar tujuh mata pelajaran di kelas 1, lima mata pelajaran di kelas 2, dan empat mata pelajaran di kelas 3. Total 17 mata pelajaran yang menjadi tanggung jawab saya. Saya pun menjadi bertanya-tanya, apakah itu tidak kebanyakan? Bisakah saya mengampu mata pelajaran sebanyak itu? Meski ragu-ragu, pada akhirnya saya menerima dan menjalani penugasan tersebut.
Sampai sekarang, saya masih menjalankan semua tugas itu. Saya masih mengampu 17 mata pelajaran.
Sebaiknya Proporsional
Pengalaman mengampu 17 mata pelajaran sekaligus mengubah pandangan saya terhadap profesi guru. Saya jadi bertanya-tanya, apakah benar guru di sekolah swasta bisa ditugasi sebanyak apa pun? Selain itu, apakah seorang guru bisa memiliki kemampuan untuk mengampu 17 mata pelajaran sekaligus?
Saya rasa, jawaban dari semua pertanyaan itu adalah tidak. Tetapi, itulah kenyataan yang saya temui. Pengalaman saya ini membuat saya mengerti bahwa mata pelajaran yang diampu oleh seorang guru harus proporsional dan berimbang dengan kemampuan guru tersebut. Menurut saya, sekolah negeri pada umumnya sudah memberikan penugasan yang proporsional kepada guru-gurunya. Bersyukurlah guru-guru di sekolah negeri karena tugas mereka tidak seberat tugas saya.
Semoga tidak ada lagi guru yang mendapatkan penugasan berlebih seperti saya.
* Catatan ini ditulis oleh RY, guru SD di Provinsi Jawa Barat.
** Semua tulisan yang dipublikasikan dalam Catatan Perjalanan Guru merupakan pandangan penulis, telah melalui proses penyuntingan untuk keperluan penulisan populer, dan tidak mewakili pandangan Program RISE di Indonesia ataupun penyandang dana RISE.