Di sebagian daerah di Indonesia, upaya pengendalian penyebaran pandemi COVID-19 telah diikuti dengan kebijakan pembelajaran jarak jauh. Sebagai akibatnya, guru dan murid dituntut untuk bisa beradaptasi dengan perubahan pada proses belajar-mengajar. Pada praktiknya, penerapan kebijakan tersebut sangat bervariasi dan dipengaruhi berbagai faktor.
Salah satu faktor yang memengaruhi kegiatan belajar dari rumah adalah akses terhadap alat komunikasi. Murid yang tidak memiliki alat komunikasi mengalami kesulitan untuk menerima materi ajar dari guru. Begitu pula halnya dengan guru yang tinggal di daerah tanpa jaringan telekomunikasi yang memadai, mereka tidak bisa mengadakan pembelajaran secara rutin. Kompetensi guru merupakan faktor lain yang memengaruhi pelaksanaan kegiatan belajar dari rumah. Guru berkompetensi tinggi yang sebagian besar berada di Pulau Jawa pada umumnya menggunakan lebih dari satu metode pengajaran dan berusaha memperkaya materi ajar mereka dengan memanfaatkan internet.
Untuk menilai proses belajar murid, sebagian besar dari mereka menggunakan ulangan yang diberikan secara berkala. Guru berkompetensi tinggi bahkan melibatkan orang tua murid melalui diskusi ataupun dialog dalam melakukan penilaian terhadap muridnya. Perbedaan dalam penerapan kegiatan belajar dari rumah akan membuat hasil belajar murid makin timpang. Proses belajar yang tidak efektif, sebagai dampak negatif kebijakan pembelajaran jarak jauh, sangat dirasakan oleh sebagian besar murid di luar Pulau Jawa akibat terbatasnya fasilitas pembelajaran dan rendahnya kompetensi guru mereka.
Catatan isu ini merupakan salah satu publikasi dari rangkaian 9 studi dari SMERU yang menganalisis berbagai kebijakan/program pemerintah, khususnya di bidang perlindungan sosial, pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan di tengah pandemi COVID-19. Temuan-temuan dari seluruh rangkaian studi ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar bagi perbaikan kebijakan Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, dan berbagai pemangku kepentingan lain terkait pandemi COVID-19. Keseluruhan studi didukung oleh Knowledge Sector Initiative (KSI).