Monday, 12 October 2020

Tantangan Menjadi Guru Profesional

Foto ilustrasi: Novita Eka Syaputri

 

Artikel ini merupakan bagian dari seri "Catatan Perjalanan Guru” dengan tema pengalaman yang kurang menyenangkan selama mengajar.

 

Menurut peraturan yang berlaku, guru profesional harus menguasai empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian. Bukti bahwa seorang guru sudah menguasai keempat kompetensi itu adalah memiliki sertifikat pendidik yang linier dengan bidang yang ia ajar.

Saya adalah guru yang sudah memenuhi kriteria di atas. Meskipun demikian, saya tetap menghadapi tantangan dalam menjalankan peran sebagai guru profesional.

Pertama kali mengajar, saya diberi kepercayaan menjadi wali kelas 2. Saat itu, ada dua murid di kelas saya yang kesulitan belajar membaca, menulis, dan berhitung. Saya merasa tertantang untuk mengajari mereka dan memberi jam belajar tambahan setelah sekolah.

Namun, setelah tiga bulan, hasilnya tidak sesuai dengan yang saya harapkan. Banyak sekali hambatan yang dihadapi kedua murid tersebut. Salah satu dari mereka tinggal bersama kakek yang buta huruf dan tidak mau membantunya belajar. Kedua anak itu juga sering bermain sehingga tidak mengenal waktu belajar yang ideal.

Saya sempat bingung harus bagaimana lagi, tetapi akhirnya saya berusaha semaksimal saya sebagai guru. Saya memberikan jam belajar tambahan dan mengedukasi wali kedua murid itu agar terus mendukung mereka dalam belajar.

Pengalaman lain yang tidak pernah terbayangkan di benak saya sebelumnya adalah saat seorang wali murid datang ke sekolah dengan sikap yang tidak sopan dan seolah ingin menghajar saya. Kejadian itu membuat saya kaget dan bingung selama beberapa detik. Setelah saya memberi penjelasan mengenai hal yang dipermasalahkan, akhirnya insiden itu berakhir baik, adil, dan tidak merugikan pihak mana pun. Ternyata ada kesalahpahaman antara wali murid tersebut dengan saya.

Selain itu, pengalaman saat diberi tanggung jawab untuk mengurus administrasi keuangan sekolah, seperti gaji, dana sosial, dan keuangan Program Indonesia Pintar (PIP) juga menjadi tantangan tersendiri. Waktu itu saya mengalami ketakutan yang berlebihan dalam mengatur waktu antara mengerjakan tugas administrasi dan tugas utama saya sebagai guru kelas 2.

Tetapi, pada akhirnya saya menyadari bahwa saya masih memiliki keluarga, rekan kerja, dan kepala sekolah yang dapat diajak diskusi maupun berbagi pengalaman ketika mereka berada di posisi saya. Sharing dengan mereka membantu saya hingga berhasil menemukan jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan manajemen waktu dalam bekerja.

Berbagai pengalaman itu membuka mata saya bahwa menjadi guru profesional tidak cukup dengan hanya menguasai empat kompetensi yang diharuskan, bergelar sarjana pendidikan (S.Pd., Gr.), atau memiliki sertifikat pendidik. Lebih dari itu, guru profesional harus terus belajar, harus mampu beradaptasi dengan cepat, harus mampu bergerak lincah dalam menyelesaikan masalah maupun menghadapi tantangan, serta harus selalu memperbarui ilmunya dengan aktif mengikuti program pelatihan di bidang pendidikan.

Yang tak kalah penting, seorang guru profesional harus mampu belajar dari pengalaman, baik yang ia alami maupun dari pengalaman orang lain.

 

* Catatan ini ditulis oleh EW, guru SD di Provinsi Jawa Timur.

** Semua tulisan yang dipublikasikan dalam Catatan Perjalanan Guru merupakan pandangan penulis, telah melalui proses penyuntingan untuk keperluan penulisan populer, dan tidak mewakili pandangan Program RISE di Indonesia ataupun penyandang dana RISE.


Bagikan Postingan Ini