Tuesday, 8 January 2019

Secercah Semangat dari Sekolah di Tengah Bukit

Suasana sepulang sekolah. Beberapa anak bermain di area sekolah, sementara beberapa langsung menempuh perjalanan pulang yang jauh menuju rumah. | Foto-foto: Tony Liong

.

Akses ke sekolah masih menjadi tantangan di berbagai pelosok di Indonesia. Di sekolah-sekolah terkendala akses, guru memegang peranan sangat penting dalam memastikan para siswanya datang ke sekolah, menimba ilmu, hingga menamatkan pendidikan. Kisah dari sebuah sekolah di lereng bukit ini salah satu contohnya.

.

Pagi itu, cuaca di salah satu desa berbukit di Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat sedang cerah. Sinar matahari menyeruak lewat celah dedaunan yang rimbun, melukis berkas-berkas jingga di jalan setapak di lereng bukit. Di jalan setapak inilah, hampir setiap harinya, suara langkah kaki terdengar. Sebagian beralaskan sandal, sementara yang lain bersepatu. Semuanya menuju ke tempat yang sama: sebuah sekolah dasar (SD) yang berada di lereng bukit.

Siswa yang belajar di sekolah tersebut bukan hanya mereka yang tinggal di sekitar sekolah. Sebagian siswa berasal dari desa-desa tetangga dan tidak sedikit yang tinggal di bukit sebelah. Setiap hari, mereka harus menempuh perjalanan berkilo-kilometer menuju sekolah.

“Anak-anak dari bukit sebelah harus menuruni bukit dulu, lalu naik lagi agar bisa sampai ke sini,” kata Pak Mahudin, kepala sekolah dasar tersebut. Anak-anak yang rumahnya lebih jauh biasanya berangkat sebelum matahari terbit sambil membawa obor sebagai alat bantu penerangan.

Seperti sebagian siswanya, Pak Mahudin pun harus menyusuri jalan setapak yang curam dan mendaki. Dari rumahnya yang berjarak sekitar dua kilometer dari sekolah, ia membutuhkan waktu selama kurang lebih satu jam perjalanan untuk sampai ke sana.

Jalan setapak yang setiap hari dilalui para siswa dan guru menuju sekolah. Jalan ini merupakan satu-satunya akses menuju ke sekolah.

Pendidikan yang Berbasis Kearifan Lokal

Sekolah di lereng bukit yang terdiri dari dua bangunan itu tergolong sederhana. Terdapat lima ruang kelas, satu ruang guru, dan satu toilet. Bangunan pertama untuk menampung siswa kelas 1–3, sedangkan siswa kelas 4–6 belajar di bangunan kedua yang terletak di belakang bangunan pertama.

Meski ada tiga rombongan belajar di bangunan pertama, jumlah ruang kelas yang tersedia hanya dua. Untuk menyiasati keterbatasan ini, para guru menjadikan koridor di bangunan pertama sebagai tempat belajar siswa kelas 1. Kurangnya jumlah ruangan serta kondisi sekolah yang jauh dari ideal ini pula yang menyebabkan tidak tersedianya fasilitas seperti Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), perpustakaan, dan lapangan yang dimiliki sekolah pada umumnya.

Bangunan sekolah yang sederhana, tempat siswa kelas 1–3 belajar.  

Karena keterbatasan jumlah ruangan, siswa kelas 1 setiap hari belajar di koridor sekolah.

Namun, berbagai keterbatasan itu tidak menyurutkan semangat siswa-siswinya untuk mengenyam pendidikan. Mereka adalah miniatur perjuangan anak-anak Indonesia yang sehari-hari terkendala akses ke sekolah dikarenakan letaknya yang jauh dari tempat tinggal mereka. Semangat belajar yang tinggi itu tentu perlu terus dipupuk dan didukung, terutama oleh guru.

Salah satu bentuk dukungan para guru di SD ini adalah dengan menerapkan pendidikan yang berbasis kearifan lokal. Mereka memandang penyesuaian pembelajaran dengan karakter dan latar belakang siswa sebagai hal yang penting.

Salah satu contohnya pada jam masuk sekolah. Setiap pagi, ada saja siswa datang terlambat ke sekolah. Alih-alih menegur atau menghukum mereka, para guru memaklumi karena lokasi rumah para siswa tersebut memang jauh dari sekolah.

Pemandangan bukit sebelah dari koridor sekolah. Siswa yang tinggal di balik bukit tersebut setiap harinya menyusuri jalan setapak sejauh berkilo-kilometer menuju sekolah. Salah satu siswa bahkan ada yang tinggal di puncak bukit tersebut.

Contoh lain terkait seragam sekolah. Guru juga menoleransi bila ada siswa yang mengenakan seragam tidak rapi atau bahkan mengenakan kemeja selain seragam. Menurut para guru, lebih penting memastikan siswa terus masuk sekolah hingga tamat ketimbang mempersoalkan seragam.

Demikian pula dalam kegiatan belajar mengajar. Komunikasi antara guru dan siswa di sekolah ini menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa Sasak dan bahasa Indonesia karena sehari-hari mayoritas siswa berbahasa Sasak. Siswa kelas kecil seperti kelas 1 atau 2 SD umumnya kurang menguasai bahasa Indonesia. Meskipun demikian, sesekali para guru tetap berbahasa Indonesia untuk memacu para siswa agar lebih memahami dan terbiasa mempraktikkan komunikasi dalam bahasa nasional mereka. “Kalau kita berbicara dalam bahasa Sasak terus, kapan anak-anak bisa benar-benar memahami bahasa Indonesia?” ujar salah satu guru.

Para guru menganggap berbagai fleksibilitas itu penting demi mendorong siswa agar senantiasa semangat belajar di sekolah–lebih-lebih mengingat tantangan yang dihadapi siswa sudah cukup banyak. Beberapa faktor yang kerap menghalangi siswa menamatkan pendidikan sekolah dasar adalah jarak antara rumah dan sekolah yang jauh; keharusan membantu orang tua bekerja di kebun; dan perkawinan anak.

Dua siswa yang sehari-harinya berbahasa Sasak, namun juga sudah memahami banyak kata-kata sederhana dalam bahasa Indonesia berkat pembelajaran berbasis kearifan lokal yang diterapkan di SD mereka.

Pentingnya Peran Guru  

Meski jumlah guru di SD ini tak mencapai belasan, mereka memiliki pengaruh yang kuat terhadap tingkat kehadiran dan semangat belajar siswa. Ini menjadi semakin penting mengingat salah satu tantangan yang sering dihadapi sekolah-sekolah dengan akses sulit adalah tingkat kehadiran guru yang rendah–yang kemudian berdampak pada tingkat kehadiran siswa yang rendah pula. Dengan hadirnya guru di kelas, sekolah dapat benar-benar menjalankan fungsinya sebagai tempat belajar dan berkembang bagi para siswanya.

Peran guru ini pun tidak berhenti di area sekolah saja. Selain mengajarkan materi di kelas, guru turut mendorong anak-anak didiknya agar menamatkan sekolah mereka dan melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi.

Sayangnya, upaya ini tidak mudah. Seorang guru bercerita bahwa tingkat kehadiran siswa yang orang tuanya berkebun biasanya akan menurun pada musim panen. “Pernah ada yang sampai tidak masuk sekolah selama berhari-hari. Kami lalu mendatangi rumahnya di bukit sebelah,” ujarnya.

Terdiam sesaat, ia lalu melanjutkan, “Kadang kesulitan terbesar yang kami hadapi adalah dari lingkungan sekitar anak tersebut, termasuk keluarganya. Kesadaran akan pentingnya menamatkan pendidikan masih kurang. Anak-anak dari orang tua yang berkebun di sini justru cukup mapan secara ekonomi. Sekali panen, penghasilannya bisa besar. Karena itu, justru lebih sulit membujuk orang tua agar mendukung anaknya bersekolah tinggi.”

Meskipun demikian, para guru di sekolah di desa berbukit tersebut memiliki alasan yang mendorong mereka terus berusaha di balik segala tantangan yang ada. Mereka yakin upaya mereka tidak akan sia-sia. Buktinya, ada saja siswa yang melanjutkan sekolah ke SMP, serta tingkat-tingkat berikutnya.

Mungkin karena itulah setiap hari para guru tetap bersemangat menempuh jarak jauh ke sekolah untuk menemui anak didik mereka. Mereka menyadari bahwa kepedulian dan semangat mereka merupakan bahan bakar utama bagi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di sekolah dasar di lereng bukit.


Bagikan Postingan Ini