Wednesday, 4 November 2020

Pengembangan Profesionalisme Guru dalam Empat Dekade Terakhir di Indonesia: Satu Langkah Maju, Dua Langkah Mundur

Ilustrasi foto: Tony Liong

 

Indonesia telah menyelenggarakan berbagai program pengembangan profesionalisme guru selama lebih dari empat dekade. Namun, upaya tersebut belum membuahkan hasil yang diharapkan. Kompetensi profesional dan pedagogik guru masih di bawah standar (World Bank, 2015). Hasil pembelajaran siswa Indonesia masih rendah. Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) terakhir menunjukkan kemampuan anak-anak Indonesia berada di urutan bawah; keterampilan membaca mereka pada 2018 berada di tingkat yang sama dengan tahun 2000. Penelitian Beatty et al. (2018) memperlihatkan bagaimana keterampilan berhitung dasar anak-anak Indonesia menurun antara 2000 dan 2014. Stagnasi pendidikan di Indonesia ini terjadi saat pemerintah memberlakukan berbagai kebijakan dan meningkatkan investasi pendidikan guna meningkatkan kualitas pendidikan.

Program pengembangan profesionalisme guru di Indonesia telah berkali-kali diubah untuk mengakomodasi berbagai reformulasi agenda pendidikan nasional (Rahman, 2016; Thair dan Treagust, 2003):

  • Program pengembangan profesionalisme guru pertama bertujuan mendukung berdirinya sekolah dasar pada 1970-an. Pada waktu itu, tujuan khusus program pengembangan profesionalisme guru adalah membekali guru-guru baru yang hanya memiliki keterampilan mengajar dasar dan tidak memiliki latar belakang pendidikan guru.
  • Pada 1980, pemerintah menjalankan program Pemantapan Kerja Guru (PKG), yaitu pelatihan dalam jabatan dengan metode pengajaran yang berfokus pada siswa.
  • Pada 1993, pemerintah memperkenalkan model baru untuk pengembangan profesionalisme guru, yaitu dilakukan dalam sistem gugus sekolah.* Penerapan model pengembangan guruini, yang dikenal dengan nama kelompok kerja guru (KKG), diharapkan dapat mempermudah pembinaan profesionalisme bagi guru.
  • Menyusul terbitnya Undang-Undang Guru dan Dosen pada 2005, pemerintah menghubungkan program sertifikasi guru dengan program pengembangan profesionalisme guru yang disebut Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG).

Program pengembangan profesionalisme guru terbaru yang diselenggarakan pemerintah, yaitu Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB), bertujuan mengatasi ketakcakapan guru dalam penguasaan mata pelajaran yang diajar dan rendahnya keterampilan pedagogik guru. Walau desain PKB memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan program-program pengembangan profesionalisme guru sebelumnya, namun, PKB juga tidak berhasil meningkatkan kualitas pengajaran guru.

Makalah terbaru kami menyelidiki penyebab reformasi pengembangan profesionalisme guru yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia dalam empat dekade terakhir tidak membuahkan hasil yang diharapkan.
 

Kekurangan Teknis dalam Pelaksanaan Pengembangan Profesionalisme Guru

Masalah pada penyelenggaraan pengembangan profesionalisme guru di Indonesia dimulai pada 1982 ketika durasi program PKG dipendekkan dan diubah menjadi model cascade untuk memenuhi kebutuhan melatih banyak guru dalam waktu yang singkat. Dalam pembelajaran dengan model cascade, materi pelatihan disederhanakan karena master trainer melatih peserta yang akan menjadi trainer yang nantinya juga akan melatih calon trainer, dan seterusnya.

Pada awalnya, PKG adalah pelatihan dalam jabatan untuk sekelompok kecil guru yang diselenggarakan di satu tempat tertentu selama 16 minggu. PKG versi awal memadukan pembelajaran tatap muka di dalam ruangan dan kunjungan/pengamatan ke kelas-kelas yang dilakukan secara intensif.

Perubahan model penyelenggaraan PKG dari model berskala kecil ke model cascade berakibat pada penurunan kualitas dan intensitas pelatihan.

Indonesia lalu mencoba model pengembangan profesionalisme guru berbasis klaster, yaitu KKG. Di beberapa negara lain, seperti Korea Selatan dan Jepang, pelaksanaan program pengembangan profesionalisme guru berbasis klaster terbilang sukses. Namun, keberhasilan itu tidak terjadi di Indonesia; di banyak kota/kabupaten, KKG dilaporkan sudah tidak aktif.

Studi World Bank (2015) menunjukkan tidak aktifnya KKG disebabkan oleh kurangnya dukungan dari pemerintah daerah serta rendahnya motivasi guru. Selain itu, walau pada awalnya KKG bertujuan memperkuat pembelajaran guru dalam lingkup komunitas pembelajaran guru, namun, pada akhirnya kegiatan KKG lebih banyak diisi dengan pembuatan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan kumpulan soal untuk ujian siswa.

Program PKB juga mengadopsi model cascade. Menurut analisis kami, PKB memiliki beberapa ciri khas program pengembangan profesionalisme guru yang berhasil guna (mengacu kepada ciri khas yang dipaparkan oleh, misalnya, Popova et al., 2018), namun, terdapat kesenjangan antara konsep PKB di atas kertas dengan yang diselenggarakan di lapangan.

PKB didesain untuk fokus pada mata pelajaran dan diselenggarakan di tempat-tempat yang tidak terpusat–kedua fitur ini terdapat di program-program pengembangan profesionalisme guru yang berhasil guna. Namun, sejumlah kekurangan pada aspek teknis PKB makin menambah lemahnya kualitas pelaksanaan program tersebut. Contoh aspek teknis yang bermasalah dalam PKB yaitu kapasitas instruktur yang tidak memadai, modul yang kurang bagus, dan durasi yang tidak mencukupi untuk penyampaian materi pelatihan yang sangat banyak.

Upaya untuk mengaitkan penuntasan PKB dengan insentif juga dilemahkan. Pada 2015, muncul wacana politik tentang mengaitkan penuntasan PKB, yang diukur dengan skor post-training dalam Uji Kompetensi Guru (UKG), dengan tunjangan sertifikasi. Namun, pemerintah pada akhirnya tidak merealisasikan pilihan tersebut karena akan menimbulkan implikasi insentif finansial yang sangat besar.

Pada praktiknya, guru yang menuntaskan PKB memang akan mendapatkan poin kredit. Dalam sistem kepegawaian aparatur sipil negara, poin kredit bermanfaat bagi peningkatan jabatan guru. Namun, menurut para guru besarnya poin kredit yang didapat setelah mengikuti PKB sangat kecil.

Kami menemukan bahwa fitur-fitur penting lain yang terdapat dalam program pengembangan profesionalisme guru yang berdaya guna tidak ada di PKB. Contoh fitur penting tersebut:

  • menyasar guru berdasarkan pengalaman mengajar mereka;
  • mengadakan kegiatan tindak lanjut pascapelatihan;
  • diklat PKB tidak disertai praktik/latihan mengajar berupa guru mendemonstrasikan keterampilan mengajar mereka kepada peserta lain dan instruktur pelatihan; dan
  • mengembangkan kemampuan mengajar guru berdasarkan kemampuan atau pengalaman mengajar yang mereka miliki.

Ketiadaan fitur-fitur penting ini menjadikan guru tidak berfokus pada peningkatan kualitas pengajaran.

Apalagi, kami menemukan bahwa fitur-fitur penting ini juga tidak ada dalam program-program pengembangan profesionalisme guru di Indonesia sebelumnya. Ketiadaan tersebut disertai dengan berbagai kekurangan pada aspek teknis pelaksanaan PKB ternyata sudah terjadi sejak 4 dekade lalu. Temuan ini menandakan bahwa elemen-elemen dalam sistem pendidikan di Indonesia berandil dalam menyebabkan program-program pengembangan profesionalisme guru tidak berdaya guna. 
 

Ke(tak)selarasan Sistem Pendidikan Indonesia dalam Hal Kualitas Guru

Guru diharapkan memiliki kemampuan mengajar yang lebih baik setelah menyelesaikan diklat PKB–namun, tujuan ini tidak tercapai. Berdasarkan temuan kami, penyebab ketidakefektifan itu tidak berasal dari guru. Sebagian besar guru yang kami wawancarai mengatakan mereka telah berusaha mengaplikasikan ilmu yang didapat dari diklat PKB ke dalam praktik mengajar di kelas. Namun, mereka menemui berbagai tantangan, seperti tingkat pembelajaran siswa, tuntutan kurikulum, dan fasilitas terbatas, yang kemudian mendorong mereka untuk kembali mempraktikkan cara mengajar yang lama.

Temuan kami yang lain adalah minimnya peran kepala sekolah dalam menilai kinerja guru setelah guru menyelesaikan diklat PKB. Kepala sekolah semestinya mendukung pembelajaran guru dengan memberikan umpan balik tentang kualitas pengajaran guru pascamengikuti pelatihan. Nyatanya, kepala sekolah tidak melakukan tindakan apa pun untuk membantu guru mengaplikasikan ilmu baru mereka. Kepala sekolah hanya menjalankan pengawasan seperti biasa, yaitu memenuhi kebutuhan administrasi.

Kinerja guru tetap tidak membaik setelah mereka mengikuti diklat PKB karena pemerintah tidak mengintegrasikan pembelajaran profesionalisme guru dengan upaya peningkatan kualitas sekolah. Di sekolah-sekolah negeri, umumnya guru tidak memiliki kesadaran yang baik mengenai hubungan antara meningkatkan kemampuan mengajar mereka dengan pengembangan karier mereka atau dengan kualitas sekolah.

Bagaimana pun performa siswa, entah baik atau buruk, konsekuensi yang diterima guru (dan sekolah) tidak ada bedanya. Ini terjadi karena pengembangan profesionalisme guru tidak pernah diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan dengan pendelegasian pembelajaran yang kuat. Ditambah lagi, diperlukan guru-guru berkualitas baik untuk bisa memfasilitasi pembelajaran yang berdaya guna.

Tidak efektifnya pengembangan profesionalisme guru yang berimbas pada gagalnya upaya peningkatan kualitas guru tidak hanya terjadi di Indonesia. Studi Todd Pugatch memperlihatkan hasil serupa di Rwanda.

Di Rwanda, fokus penilaian dan ujian di sekolah-sekolah tidak sejalan dengan perubahan kurikulum. Kondisi ini mempersulit guru karena mereka harus menerapkan ilmu yang diperoleh dari program pengembangan profesionalisme guru yang menyertai pelaksanaan kurikulum. Ketakselarasan antara penyelenggaraan pembelajaran guru dengan kurikulum dan sistem ujian mendorong guru untuk mengambil langkah yang aman, yaitu menggunakan pendekatan mengajar yang tradisional.

Di Indonesia, walau pemerintah telah melakukan banyak upaya untuk meningkatkan kualitas guru, namun, program pengembangan profesionalisme guru selalu kekurangan dana. Karena keterbatasan anggaran ini, program-program tersebut selalu menargetkan melatih sebanyak mungkin guru dalam waktu yang relatif singkat. Akibatnya, program pelatihan pun dirancang sesuai dengan anggaran yang terbatas, dan untuk sebanyak mungkin guru. Hal ini tentu saja membuat kualitas pelatihan menurun.

Ketakselarasan ini juga mendorong penghapusan banyak fitur penting pada program pengembangan profesionalisme guru. Salah satunya terkait komponen praktik/latihan mengajar berupa guru mendemonstrasikan keterampilan mengajar mereka kepada peserta lain dan instruktur pelatihan.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengakui bahwa komponen tersebut penting dalam pengembangan profesionalisme guru. Di sisi lain, Kemendikbud juga memahami bahwa memberikan umpan balik terkait pengajaran kepada jutaan guru membutuhkan dana yang sangat besar. Pada akhirnya, komponen tersebut tidak dimasukkan ke dalam rancangan PKB. Hal ini menandakan lemahnya komitmen pemerintah dalam menyediakan pengembangan profesionalisme yang memadai bagi setiap guru. Tak heran bila hasilnya adalah pelatihan pengembangan profesionalisme guru yang berkualitas rendah, yang hanya mengutamakan kuantitas dengan menargetkan pelatihan kepada jutaan guru.
 

Menciptakan Kemajuan yang Nyata

Kajian kami atas pelaksanaan berbagai program pengembangan profesionalisme guru di Indonesia selama empat dekade terakhir memperlihatkan bahwa sekadar memperbaiki aspek teknis program tidak dapat menghasilkan kualitas guru yang lebih bagus. Untuk bisa menyelenggarakan pengembangan profesionalisme guru yang berdaya guna, pertama-tama pemerintah perlu melakukan reorientasi sistem pendidikan agar lebih mengarah kepada upaya menghasilkan guru-guru berkualitas. Artinya, negara (pembuat kebijakan) perlu melakukan pendelegasian yang lebih kuat kepada Kemendikbud dan pemerintah daerah.

Pemberi layanan garis depan (guru dan kepala sekolah) perlu diberi mandat yang kuat agar fokus kepada kualitas pengajaran dan pembelajaran. Kemendikbud juga perlu menetapkan standar pengajaran yang dapat dipahami dan lebih terukur serta merupakan cerminan kompetensi mengajar. Standar tersebut dapat dijadikan panduan dalam merancang program-program pengembangan profesionalisme guru di masa yang akan datang, sehingga pembelajaran guru yang berdaya guna dapat terwujud.

Pemerintah juga perlu menerapkan sistem berbasis kinerja untuk sekolah dan guru. Prinsip utamanya adalah guru dengan kinerja lebih baik akan menerima remunerasi yang lebih tinggi serta diprioritaskan untuk kenaikan jabatan. Pemerintah perlu menciptakan mekanisme penghargaan bagi guru-guru berketerampilan tinggi dan pengembangan bagi guru-guru berketerampilan rendah yang tidak memenuhi standar minimum. Selain itu, perlu ada standar minimum yang harus dicapai guru untuk bisa menerima tunjangan terkait sertifikasi; dalam hal ini, penetapan sertifikasi ulang secara berkala dapat menjadi pilihan.

Dengan demikian, guru akan termotivasi untuk terus mengembangkan kompetensinya.

 

Artikel ini dimuat ulang dari situs web RISE Programme dan pertama kali terbit dalam bahasa Inggris.

 

Daftar Acuan

  • Beatty, A., Berkhout, E., Bima, L., Coen, T., Pradhan, M. and Suryadarma, D., 2018. Indonesia Got Schooled: 15 Years of Rising Enrolment and Flat Learning Profiles. RISE Working Paper Series 18/026. [online] RISE Programme. Available at: <https://riseprogramme.org/publications/indonesia-got-schooled-15-years-r....
  • Popova, A., Evans, D., Breeding, M. and Arancibia, V., 2018. Teacher Professional Development around the World: The Gap Between Evidence and Practice. Policy Research Working Paper. [online] Washington, D.C.: World Bank Group. Available at: <https://documents.worldbank.org/en/publication/documents-reports/documen....
  • Rahman, A., 2016. Teacher Professional Development in Indonesia: The Influences of Learning Activities, Teacher Characteristics and School Conditions. Ph.D. thesis. Unpublished. University of Wollongong.
  • Thair, M. and Treagust, D., 2003. A Brief History of a Science Teacher Professional Development Initiative in Indonesia and the Implications for Centralised Teacher Development. International Journal of Educational Development, 23(2), pp.201-213.
  • World Bank, 2015. Indonesia Teacher Certification and Beyond: An Empirical Evaluation of the Teacher Certification Program and Education Quality Improvements in Indonesia. [online] Jakarta: World Bank. Available at: <https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/24433>.

Bagikan Postingan Ini