Monday, 16 December 2019

Panen Nira dan Multiple Policy, Sebuah Refleksi

Foto: Niken Rarasati

 

Suatu sore pada akhir 2014, di bawah pepohonan lontar di halaman rumah hostfam* di Desa Mukekuku, Kecamatan Rote Timur, saya dan sejumlah Pengajar Muda duduk melingkar. Di satu sudut halaman, tampak jeriken nira berserakan. Di bagian lain halaman, tungku tradisional masih hangat setelah digunakan mengolah nira pada pagi harinya.

Farli, guru Indonesia Mengajar di desa itu, sedang bercerita tentang kesibukan desanya pada hari-hari itu serta berbagai harapan dan tantangan pendidikan di Desa Mukekuku. Para Pengajar Muda lain menyimak, sesekali menimpali dengan cerita di desa mereka. Saat itu ada delapan orang Pengajar Muda di Kabupaten Rote Ndao, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT); mereka mengajar di delapan sekolah berbeda di berbagai penjuru Rote. Saya hadir dalam kesempatan refleksi program yang dilaksanakan pada pertengahan masa penugasan satu tahun mereka. Hari itu jadwal kami berkunjung ke desa dan sekolah Farli, SD Inpres Oeulu di Rote Timur.

Desa Mukekuku memang sibuk sekali hari-hari itu. Setiap dini hari selama kurang lebih tiga bulan, warga menyadap nira dari pohon lontar. Setelah disadap, mereka langsung mengolahnya menjadi gula atau sopi (minuman tradisional khas NTT). Semua kesibukan itu berakhir sekitar pukul sembilan pagi setiap hari.

Di situlah letak masalahnya–setidaknya dari perspektif kita yang tinggal di Jakarta. Anak-anak jadi sering terlambat atau bolos sekolah karena membantu orang tua mereka menyadap dan mengolah nira. Kehadiran siswa di sekolah pada masa panen nira menjadi rendah, sekeras apa pun para guru berusaha meyakinkan para orang tua agar mengirim anak mereka ke sekolah. Para orang tua itu bukannya tidak mau, tetapi, panen nira tidak bisa ditunda. Lebih-lebih, penghasilan mereka dari memanen nira pada satu kuartal itu dapat menjadi penopang kehidupan mereka sepanjang tahun.

Memikirkan Kembali Konsep Kehadiran Siswa  

Kenyataan seperti di Desa Mukekuku itu jamak dijumpai di berbagai daerah penugasan Indonesia Mengajar. Di beberapa desa di Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat, anak-anak sering tidak hadir di sekolah karena pada masa tertentu harus ikut keluarga mereka ke ladang untuk memanen pala. Di beberapa wilayah kepulauan, ada masa panen melaut yang membuat banyak keluarga sibuk sehingga “menurunkan angka kehadiran siswa di sekolah”.

Dalam “perspektif Jakarta”, kualitas pendidikan dikejar dengan menjaga tingkat kehadiran siswa di sekolah sesuai dengan kalender akademik yang ramah bagi sebagian penduduk Indonesia: hadir sepanjang tahun dari pagi hingga siang hari, kecuali hari-hari raya keagamaan dan masa libur sekolah. Kehadiran sepanjang tahun mungkin hanya tepat bagi anak-anak perkotaan atau pada masa lalu–ketika konsep pendidikan modern digiatkan pada awal Orde Baru–bagi penduduk petani padi di Pulau Jawa. Petani padi umumnya bekerja sepanjang tahun, khususnya di daerah dengan irigasi yang baik, atau diselingi dengan bercocok tanam tanaman lain saat musim kering. Mereka berangkat pagi dan pulang sore tanpa mengenal musim angin barat atau musim panen berladang seperti di Rote atau Fakfak.

Kerumitan seperti ini tidak hanya mengganggu di level praksis pendidikan, tetapi juga di tingkat filsafat. Pendidikan modern percaya bahwa tiap anak unik dengan kecerdasan mereka masing-masing. Dan karenanya, gurulah yang harus menyesuaikan pendekatan mengajar mereka dengan keunikan tiap anak. Maka, bukankah seharusnya kita juga menyesuaikan pendekatan belajar anak (termasuk cara mereka hadir di sekolah) dengan cara hidup dan lingkungan sekitar mereka? Tentu kita bisa menemukan konsep belajar yang ramah dengan musim panen nira atau lada, sebagaimana kita menemukan pendekatan multiple intelligence untuk kecerdasan anak yang beragam.
 

Kebijakan One-size-fits-all Tidak Optimal

Sebenarnya kritik atas pendekatan one-size-fits-all seperti ini sudah banyak dilontarkan. Dan, dalam kerangka lebih luas, setidaknya dalam satu dekade terakhir, dan sepanjang sembilan tahun Indonesia Mengajar berjalan, ada berbagai kasus kebijakan yang justru menegaskan konsep kebijakan tunggal itu: Ujian Nasional (UN), Kurikulum 2013 (K-13), dan sistem zonasi sekolah. Temuan-temuan di lapangan menyimpulkan hal yang sama; kebijakan tunggal one-size-fits-all  tidak berlaku optimal dan justru memancing penyesuaian yang tidak sejalan dengan tujuan kebijakannya.

Kebijakan tunggal umumnya berciri bersifat nasional, mengandalkan penerapan regulasi (bukan consentual engagement dari pelaku), jadwal implementasi yang mepet, serta–ini yang paling rumit–bersifat mekanis dengan menaruh beban pada ultimate beneficiaries, yaitu siswa. Kebijakan UN misalnya, malah memberikan tekanan pada siswa untuk mencapai hasil belajar tertentu, alih-alih mendorong para pelaku pendidikan lain seperti guru, dinas pendidikan atau kementerian, untuk bekerja lebih keras dalam meningkatkan hasil belajar. “Hukuman” seolah-olah jatuh pada siswa dan bukan pada pelaku pendidikan lain yang justru memegang sumber daya dan kapasitas. Kalau nilai UN jatuh, siswa yang “kena hukuman”; tidak ada nilai “kinerja UN” untuk dinas pendidikan, bahkan kementerian.

Demikian juga pada konsep sistem zonasi sekolah. Sekalipun secara konseptual bertujuan baik, yaitu memeratakan pendidikan, namun, secara mekanis dapat diurai bahwa beban pertama dan terberat jatuh pada siswa dan tidak pada pelaku pendidikan lain. Siswalah yang harus menyesuaikan diri dengan negara untuk mencapai tujuan kebijakan pemerataan pendidikan; padahal, seharusnya beban terberat terletak di negara, yaitu memeratakan guru berkualitas ke semua sekolah.

Guru yang baik menyesuaikan dengan kebutuhan muridnya. Negara yang baik seharusnya juga menyesuaikan dengan kebutuhan murid-muridnya. Dengan kondisi sosial ekonomi siswa yang beragam, kebijakan tunggal tidak pernah terbukti mampu menjawab tantangan pendidikan di level praksis. Namun, negara dengan segala sumber daya dan kapasitasnya, pastilah mampu menyesuaikan dengan semua ragam muridnya. Termasuk menyediakan multiple policy untuk tiap ragam anak, keluarga, dan lingkungan hidup mereka.

 

Artikel ini ditulis oleh Hikmat Hardono (ketua Dewan Pengurus Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar, anggota Dewan Penasihat Program RISE di Indonesia).

*Hostfam adalah akronim dari host family, yaitu keluarga angkat yang menampung para guru Indonesia Mengajar di lokasi penempatan mereka.


Bagikan Postingan Ini