Monday, 12 October 2020

Merasa Gagal Menjadi Guru

Foto ilustrasi: Mukti Mulyana

 

Artikel ini merupakan bagian dari seri "Catatan Perjalanan Guru” dengan tema pengalaman yang kurang menyenangkan selama mengajar.

 

Awal 2019 adalah saat saya merasa gagal menjadi guru. Waktu itu seorang siswa di kelas saya, kelas 5, tidak mau masuk sekolah dan akhirnya pindah sekolah. Kejadian itu membuat saya down, merasa gagal dan tidak mampu mengatasi masalah. Semangat dan kepercayaan diri saya pun menurun.

Informasi yang beredar adalah siswa tersebut mengalami bullying di sekolah sehingga ia memutuskan untuk pindah sekolah. Padahal, kejadian yang sebenarnya adalah dia kecanduan K-Pop dan terlalu asyik dengan grup fans K-Pop di ponselnya hingga tidak mau sekolah. Pihak sekolah sudah beberapa kali mengupayakan mediasi, tetapi tidak berhasil karena orang tua siswa tersebut menganggap anaknya baik-baik saja, dan masalah yang sebenarnya adalah dari teman-teman sekolahnya.

Seminggu setelah siswa tersebut pindah, saya berpikir masih ada 28 peserta didik yang perlu bimbingan saya. Saya tidak boleh “kecolongan” lagi. Saya harus membuat prestasi mereka meningkat. Saya tidak mau dianggap tidak mampu. Saya harus punya inovasi. Saya ingin membuktikan bahwa saya mampu, bahwa kejadian dengan murid satu itu bukan murni kesalahan saya, tetapi juga karena kesalahan orang tuanya. 

Bulan demi bulan berlalu. Saya melatih para siswa dan mengikutkan mereka dalam berbagai perlombaan. Pertama, mereka meraih juara 1 untuk perlombaan baris-berbaris (putra). Pada bulan selanjutnya, seorang siswa menjuarai perlombaan pemilihan da’i cilik di tingkat kecamatan dan maju ke tingkat kabupaten. Berbagai persiapan saya lakukan untuk membantunya. Tidak lama kemudian, siswa yang lain mengikuti lomba siswa teladan dan meraih juara 3.

Rasa percaya diri saya pun mulai tumbuh lagi. Saya punya tanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak Indonesia!

Saya juga mengirim dua siswa mengikuti Kompetisi Sains Nasional. Pada hari berikutnya saya mendapat kabar kalau salah satu siswa mendapat juara 2 di tingkat kecamatan dan harus mempersiapkan diri untuk mengikuti perlombaan di tingkat kabupaten. Waktu untuk persiapan tergolong singkat, tetapi saya gunakan sebaik mungkin untuk membimbing siswa tersebut.

Pada hari perlombaan, saya menunggui siswa yang berkompetisi sampai selesai. Saya sangat bersyukur dan merasa terharu sekali saat siswa saya diumumkan meraih juara 2 di tingkat kabupaten dan akan lanjut ke tingkat provinsi. Di situ saya merasa “hidup” kembali.

Rasa haru dan bangga bercampur jadi satu. Semua pencapaian siswa-siswa saya sudah menutupi kekecewaan, kesedihan, dan kegagalan yang pernah saya rasakan pada awal mendampingi mereka–meskipun langkah mereka kemudian harus terhenti karena adanya pandemi COVID-19.

Saya mengambil pelajaran yang sangat berharga dari pengalaman mengajar selama setahun terakhir, yaitu jangan berlarut-larut terpuruk dalam kesedihan dan kegagalan. Tidak ada yang bisa membuat kita bangkit dan berhasil selain diri kita sendiri. Jadikan kegagalan sebagai lecutan semangat baru untuk membuktikan bahwa diri kita mampu.

Terlepas dari itu, jangan lengah dengan keberhasilan dan jangan mudah puas dengan pencapaian. Jangan mudah sombong karena sejatinya ilmu itu harus selalu ditingkatkan, diasah, dan diteruskan. Bisa jadi sekarang kita tahu semuanya, tetapi seminggu atau dua minggu ke depan segalanya sudah berbeda dan bertambah.

Jangan pernah bosan untuk belajar, seperti ucapan dari hadits “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat.” Sampai kapan pun, tidak ada kata terlambat untuk belajar dan menuntut ilmu.

 

* Catatan ini ditulis oleh DP, guru SD di Provinsi Jawa Timur.

** Semua tulisan yang dipublikasikan dalam Catatan Perjalanan Guru merupakan pandangan penulis, telah melalui proses penyuntingan untuk keperluan penulisan populer, dan tidak mewakili pandangan Program RISE di Indonesia ataupun penyandang dana RISE.


Bagikan Postingan Ini