Tuesday, 23 July 2019

Rapor kompetensi guru SD Indonesia merah, dan upaya pemerintah untuk meningkatkannya belum tepat

Foto: Mukti Mulyana

-

Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia.

-

Kompetensi dan profesionalisme guru berperan penting dalam keberhasilan pembelajaran siswa. Sepanjang peningkatan kualitas dan pemetaan kompetensi guru tidak menjadi prioritas pemerintah, sulit untuk membayangkan mutu pendidikan di Indonesia dapat meningkat.

Salah satu alat evaluasi yang digunakan dalam mengukur kompetensi guru di Indonesia adalah Uji Kompetensi Guru (UKG). Tes ini menilai penguasaan kompetensi pedagogik, kemampuan guru mengelola kelas dan menyiapkan strategi belajar untuk murid, dan kompetensi profesional, penguasaan guru terhadap materi dan kemampuan mengevaluasi pembelajaran.

Nilai rata-rata kompetensi guru dari jenjang SD, SMP hingga SMA cukup mengkhawatirkan berdasarkan hasil uji kompetensi 2015. Secara nasional nilai rata-rata guru tingkat SD adalah 40,14; SMP 44,16; dan SMA 45,38. Nilai ini di bawah standar minimal yang ditetapkan 55. Tahun lalu standar minimalnya dinaikkan menjadi 75.

Meskipun Uji Kompetensi Guru tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya indikator kualitas guru, hasil UKG tetap menunjukkan bahwa banyak guru di Indonesia belum punya minimum kompetensi yang dibutuhkan untuk memfasilitasi pembelajaran yang berkualitas.

Bahkan dengan penyelenggaraan pendidikan guru yang sudah berlapis, yakni calon guru harus mengikuti program profesi guru selama setahun setelah menyelesaikan pendidikan sarjana, kualitas guru belum baik. Dalam studi Research on Improving Education Systems (RISE) di Indonesia pada 2018, saya dan kolega menemukan hanya 12,43% guru sekolah dasar yang menganggap dirinya menguasai materi pengajaran literasi baca tulis dan 21,27% yang menganggap dirinya menguasai materi pengajaran matematika.

Studi ini mensurvei persepsi diri 360 guru kelas sekolah dasar lulusan S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar yang mengikuti program Pendidikan Profesi (PPG) selama setahun secara tatap muka di tujuh universitas penyelenggara pendidikan keguruan di Pulau Jawa tahun lalu. Guru yang mengikuti survei memiliki pengalaman mengajar antara 6 bulan hingga lima tahun. Mereka merupakan sampel dari 2.449 guru SD dari seluruh Indonesia yang ikut program tersebut di 43 universitas.

Bila para guru tidak kompeten dalam mengajarkan materi baca tulis dan matematika di tingkat sekolah dasar, tidak mengagetkan bahwa pencapaian siswa Indonesia dalam berbagai program penilaian nasional maupun internasional juga berada dalam kategori rendah. Pada Programme for International Student Assessment (PISA) 2015, misalnya, rata-rata skor literasi matematika siswa Indonesia adalah 386, berada di bawah nilai rata-rata skor literasi matematika siswa dari 72 negara peserta PISA sebesar 490.

Lalu upaya apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kompetensi guru secara berkelanjutan?

Langkah strategis: memetakan kompetensi guru

Sistem pendidikan guru saat ini belum mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk menjadi pendidik profesional. Bahkan hal mendasar seperti penguasaan materi pengajaran belum dikuasai dengan baik.

Di tingkat sekolah dasar, kondisinya lebih mengkhawatirkan karena guru harus menguasai materi berbagai mata pelajaran yang menjadi konsep fundamental dalam perkembangan siswa di tingkat pendidikan selanjutnya.

Untuk mengembangkan kompetensi guru secara berkelanjutan, pemetaan kompetensi guru melalui hasil UKG seperti yang dilakukan saat ini belum tepat sasaran. Pemetaan melalui UKG yang ada saat ini tidak memperhatikan perkembangan kompetensi guru dalam jenjang karir yang berbeda.

Sampai saat ini pemerintah belum memetakan kompetensi dan tahap pengembangan yang harus dimiliki oleh guru pertama, guru muda, guru madya, dan guru utama. Padahal, sistem seperti ini telah dikembangkan di banyak negara maju seperti di Australia, dengan tujuan memberikan gambaran yang jelas mengenai kompetensi yang harus dimiliki seorang guru dan pengembangan yang harus dilakukan guru untuk mencapai kompetensi tersebut.

Kurikulum pendidikan keguruan saat ini juga perlu ditinjau ulang secara menyeluruh. Perlu desain kurikulum yang dapat membekali guru dengan pengetahuan yang dalam dan luas mengenai materi yang diajarkannya, keterampilan mengajar yang sesuai, serta sikap positif terhadap kebutuhan belajar siswa yang beragam.

Upaya pemerintah naikkan kompetensi guru

Dalam sistem yang saat ini berlangsung, baik guru pemula maupun guru yang telah berpengalaman menempuh program pengembangan dan pelatihan yang sama, dengan jenis pelatihan yang tidak jarang tumpang tindih.

Saat ini, untuk meningkatkan kompetensi guru, pemerintah menyelenggarakan Pendidikan Profesi Guru (PPG) dan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB). Melalui pendidikan tambahan tersebut, guru diharapkan mendapatkan kesempatan mempelajari berbagai kompetensi yang dibutuhkan untuk menjadi pendidik profesional.

Pada 2017, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi merancang dua jenis program PPG berdasarkan kelompok sasaran, yaitu program PPG pra-jabatan dan PPG dalam jabatan.

Satu-satunya cara bagi guru untuk memperolah sertifikat pendidik profesional adalah dengan mengikuti PPG. PPG menggantikan program sertifikasi pendidik melalui pengumpulan portofolio atau PLPG (pendidikan dan latihan profesi guru).

Guru akan menjalani lokakarya dan praktik pengalaman lapangan di sekolah dengan materi kompetensi pedagogik, pengetahuan materi pengajaran, keterampilan berkomunikasi dan pengembangan karakter sebagai pendidik profesional.

Program PPG pra-jabatan selama dua semester ditujukan pada calon guru pemula atau guru yang belum berpengalaman mengajar dengan metode tatap muka. Sedangkan program PPG selama satu semester untuk guru dalam jabatan atau yang sudah bertugas di sekolah baik negeri maupun swasta dilaksanakan dengan memadukan metode pembelajaran daring dan tatap muka. PPG wajib diikuti oleh guru baik yang berlatarbelakang pendidikan S1 kependidikan maupun S1 non-kependidikan.

Penyelenggaraan PPG ini bukan tanpa polemik dan telah menjadi perbincangan di kalangan akademisi dan praktisi pendidikan. Program PPG dianggap tidak efektif bagi guru yang telah menempuh pendidikan keguruan di jurusan keguruan/kependidikan karena hanya mengulang mata kuliah selama studi S1. Dalam model pendidikan guru saat ini, penyelenggaraan pendidikan keguruan reguler dan program PPG seolah-olah terpisah dan berdiri sendiri-sendiri.

Adapun dalam program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) mayoritas pesertanya adalah guru yang telah memperoleh sertifikasi profesi. Dengan mengikuti program pendidikan dan pelatihan PKB selama 60 jam, guru didorong meningkatkan kapasitasnya dalam penguasaan kemampuan pedagogi dan penguasaan materi bidang studi.

Mengingat mayoritas peserta PKB sudah memiliki sertifikat pendidik profesional, desain diklat seperti ini pada akhirnya hanya menjadi penyegaran atas materi yang pernah dipelajari guru di bangku kuliah, dan belum mengembangkan kompetensi guru secara berkelanjutan.

Temuan studi RISE 2018 menunjukkan bahwa meskipun telah mengikuti diklat PKB, banyak guru tidak dapat memenuhi kriteria capaian minimal kompetensi.

Perlu pengembangan yang tepat

Guru akan dapat menguasai kompetensi yang dibutuhkan untuk memfasilitasi pembelajaran siswa dengan pengembangan yang tepat dan berkelanjutan.

Bukan hanya menunjang guru dalam memfasilitasi pembelajaran yang efektif, pengembangan yang tepat dan berkelanjutan akan memungkinkan guru yang berpengalaman untuk berkolaborasi dengan guru pemula, dan menjadi mentor bagi mereka, sehingga dapat menciptakan kondisi yang kondusif dalam perbaikan pembelajaran di kelas.

Kualitas suatu sistem pendidikan tidak akan melebihi kualitas gurunya. Peningkatan kompetensi guru dalam memfasilitasi pembelajaran harus menjadi prioritas jika kita ingin meningkatkan mutu pembelajaran.


Bagikan Postingan Ini