Thursday, 22 October 2020

Pandemi COVID-19 Memperlebar Kesenjangan Pendidikan di Indonesia

Foto ilustrasi: Novita Eka Syaputri

.

Artikel ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris di situs web East Asia Forum. 

.

Tiga anak Indonesia mengikuti pembelajaran jarak jauh dengan peralatan dan fasilitas memadai—satu laptop dan satu meja untuk satu anak. Seorang ayah yang putus asa mencuri smartphone agar anaknya bisa mengikuti pembelajaran jarak jauh. Tiga siswa sekolah menengah atas ditangkap karena percobaan perampokan—mereka membutuhkan uang untuk membeli smartphone untuk keperluan pembelajaran dalam jaringan. Ketiga kisah ini menjadi viral di Indonesia dan mengungkap fakta bahwa belajar dari rumah selama pandemi COVID-19 memperbesar ketimpangan pendidikan yang sudah ada di Indonesia.

Pemerintah Indonesia memperkenalkan kebijakan Belajar dari Rumah pada pertengahan Maret 2020. Guru, siswa, dan orang tua kemudian menghadapi banyak tantangan dalam menjalankan kebijakan ini.

Studi SMERU yang melaporkan gambaran tiga bulan pertama pelaksanaan Belajar dari Rumah menunjukkan variasi pada praktik pembelajaran siswa Indonesia. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap variasi tersebut mulai dari akses ke fasilitas dan infrastruktur yang tidak merata, perbedaan dalam kemampuan melakukan pengajaran jarak jauh, jenis dan lokasi sekolah, dan lingkungan tempat tinggal siswa.

Pembelajaran jarak jauh sangat bergantung pada jangkauan jaringan internet. Padahal, data menunjukkan jangkauan jaringan internet di tiap daerah berbeda-beda. Menurut Badan Pusat Statistik, pada 2018, lebih banyak desa di Pulau Jawa yang memperoleh sinyal internet kuat dibandingkan wilayah lain di Indonesia, diikuti Sumatra, Sulawesi, Bali, dan Kalimantan. Hanya 25 persen wilayah di Maluku dan Papua memiliki sinyal internet yang kuat.

Akses internet yang tidak merata serta minimnya jangkauan internet menyebabkan banyak guru tidak dapat mengajar dengan kemampuan terbaik mereka. Setiap hari, sekitar 30 persen guru di Pulau Jawa tidak mengajar. Proporsi ini lebih besar pada guru-guru di luar Pulau Jawa, yaitu setiap harinya ada sekitar 50 persen dari mereka yang tidak mengajar.

Umumnya, siswa para guru itu tidak memiliki smartphone atau akses internet. Guru-guru lalu mendatangi rumah-rumah siswa dan biasanya hanya memberikan tugas pelajaran (tanpa ada pengajaran sama sekali). Praktik ini banyak ditemui di sekolah negeri di wilayah perdesaan, khususnya di luar Pulau Jawa. Guru-guru di daerah ini sering tidak dapat menilai tugas siswanya atau memberi kesempatan untuk sesi tanya-jawab.

Pada saat pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial yang memaksa masyarakat untuk di rumah saja, orang tua memiliki peran penting dalam mendukung anak-anak mereka belajar. Tetapi, tidak semua orang tua memiliki kemampuan untuk memberikan dukungan ini. Orang tua dengan kondisi ekonomi rendah kesulitan mendukung anak-anak mereka belajar dari rumah karena keterbatasan fasilitas, seperti tidak mempunyai smartphone atau akses internet. Situasinya juga rumit bila dalam satu keluarga hanya terdapat satu smartphone, tetapi ada lebih dari satu anak yang harus mengikuti pembelajaran jarak jauh.

Penelitian SMERU menemukan, siswa dengan performa akademis di atas rata-rata di kelasnya cenderung memiliki lingkungan rumah yang mendukung. Anak-anak ini tinggal di wilayah perkotaan dengan akses yang lebih baik ke fasilitas untuk pembelajaran jarak jauh. Orang tua mereka berpendidikan tinggi, aktif memandu mereka belajar dari rumah serta berkomunikasi dengan guru secara rutin.

Anak-anak dengan orang tua berpendidikan rendah, yang tinggal di wilayah perdesaan, cenderung menghabiskan waktu mereka dengan bermain ketimbang belajar. Orang tua mereka umumnya tidak mengerti tentang pendidikan anak, dan kecil kemungkinan mereka ikut mendukung pembelajaran anak karena tidak mengetahui caranya.  

Temuan ini mengonfirmasi bahwa anak dari keluarga ekonomi rendah menderita penurunan kemampuan yang lebih besar secara proporsional akibat penutupan sekolah pada masa pandemi COVID-19. Bagi anak-anak ini, dalam jangka panjang, kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan pembelajaran pada periode itu akan memberikan dampak negatif yang sangat besar.

Satu kebijakan untuk semua daerah yang ditetapkan pemerintah gagal mengatasi masalah karena keadaan guru, murid, dan orang tua berbeda-beda. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) perlu memikirkan intervensi khusus yang lebih baik untuk guru dan siswa di daerah dengan infrastruktur terbatas. Langkah ini perlu mencakup kunjungan guru ke rumah yang terjadwal atau menyelenggarakan lebih banyak pembelajaran di luar ruangan. Sekolah juga dapat menilai kebutuhan siswa dan orang tua untuk mendukung pembelajaran, seperti panduan yang lebih praktis bagi orang tua, pulsa telepon, dan pelatihan bagi guru untuk beradaptasi dengan lingkungan pembelajaran yang baru.

Untuk mencegah kesenjangan pendidikan yang lebih besar, guru perlu mengetahui tingkat kemampuan siswa-siswanya selama periode pembelajaran jarak jauh hingga saat sekolah dibuka kembali. Dengan bantuan dinas pendidikan daerah setempat, sekolah dapat melakukan penilaian berkala untuk mengidentifikasi tingkat pembelajaran siswa.

Guru juga perlu menerapkan pendekatan pengajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Kemendikbud dapat membuat panduan praktis bagi guru untuk menerapkan pendekatan ini, dan menyediakan dukungan atau platform bagi guru untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam melaksanakannya. Pemerintah juga perlu mengembangkan suatu sistem untuk memantau kinerja guru dan siswa pada masa pembelajaran jarak jauh.

Dalam jangka panjang, pemerintah harus mendorong pembangunan infrastruktur yang berkeadilan. Pemerintah juga perlu berinvestasi pada reformasi pendidikan guru, seperti mengembangkan kurikulum khusus untuk pembelajaran jarak jauh dan keadaan darurat pendidikan serta penguasaan teknologi untuk mengajar.

 

*Artikel ini merupakan bagian dari EAF special feature series terkait krisis COVID-19 dan dampaknya.


Bagikan Postingan Ini