Friday, 16 July 2021

Pembelajaran jarak jauh masih akan tetap di sini. Kita harus buat kualitasnya setara sekolah tatap muka

Foto ilustrasi: Novita Eka Syaputri

.

Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia.

.

Selama pandemi COVID-19 belum terkendali, pembelajaran jarak jauh tampaknya akan tetap menjadi metode pembelajaran utama bagi banyak murid. Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, misalnya, menyebabkan pemerintah menunda rencana sekolah tatap muka di Jawa-Bali.

Bahkan di berbagai provinsi di luar Jawa-Bali yang diizinkan mulai melaksanakan belajar tatap muka, sekolah tetap harus memberi murid pilihan belajar dari rumah atau di sekolah karena kondisi mereka yang berbeda-beda. Sayangnya, pembelajaran jarak jauh yang tidak efektif telah memperlebar ketertinggalan hasil belajar murid di Indonesia – terutama mereka yang berasal dari kelompok miskin. Hal ini juga menyebabkan kerugian ekonomi yang masif akibat capaian belajar yang lebih rendah dan meningkatnya potensi putus sekolah.

Pemerintah dan sekolah perlu terus mengembangkan strategi pembelajaran jarak jauh agar kualitasnya setara dengan pembelajaran tatap muka, mengingat hal ini akan tetap bertahan selama pandemi maupun pada masa depan.

Masih jadi opsi utama banyak murid

Akibat meningkatnya kasus COVID-19, murid di seluruh Jawa-Bali harus kembali melakukan pembelajaran jarak jauh setidaknya sampai PPKM selesai.

Beberapa peneliti bahkan menyarankan pemerintah melanjutkan pembatasan aktivitas masyarakat secara lebih ketat dan konsisten hingga pandemi benar-benar terkendali – membuat prospek sekolah tatap muka semakin tidak menentu. Namun, selain mereka, banyak murid di provinsi lain pun terpaksa tetap belajar di rumah karena sekolah tatap muka yang masih terbatas atau belum memenuhi persyaratan pemerintah.

Menjelang tahun ajaran 2021/2022, misalnya, pemerintah mengeluarkan Pedoman Pembelajaran Tatap Muka Terbatas untuk sekolah dasar (SD) yang di antaranya mengatur bahwa pada awal pembukaan sekolah, hanya 50% murid yang boleh hadir.

Lebih lanjut lagi, dengan dalih menegakkan protokol kesehatan tersebut, sekolah pun bisa saja mengeluarkan peraturan kuota tatap muka yang diskriminatif.

Menjelang persiapan sekolah tatap muka anak saya, misalnya, kami harus mengisi formulir online dari sekolah yang menanyakan moda transportasi apa yang digunakan anak untuk berangkat sekolah. Ketika jawabannya adalah transportasi umum, sistem mengeluarkan pernyataan bahwa anak harus tetap belajar di rumah. Artinya, banyak siswa tersebut – biasanya murid miskin atau yang kedua orang tuanya bekerja - tetap “dipaksa” belajar dari rumah.

Di tengah kualitas pembelajaran jarak jauh yang belum setara antardaerah, ketertinggalan hasil belajar bisa makin melebar bagi para murid tersebut. Dengan demikian, pengembangan pembelajaran jarak jauh yang kualitasnya setara dengan sekolah tatap muka merupakan kebutuhan mutlak setiap sekolah.

Membangun pembelajaran jarak jauh yang setara dengan tatap muka

Upaya pengembangan ini memerlukan kerja gotong royong segenap pemangku kepentingan pendidikan. Apalagi, pada masa depan, pembelajaran jarak jauh dapat menjadi bagian penting dalam sistem sekolah – baik secara penuh maupun digabung dengan tatap muka. Meski pandemi berakhir, pembelajaran jarak jauh pun akan tetap ada dan tidak boleh diperlakukan sebagai sekadar respons darurat.

Berbagai pembangunan infrastruktur internet di Indonesia yang sedang berjalan juga akan membuat pembelajaran jarak jauh semakin merata di seluruh Indonesia. Namun, hal itu tidaklah cukup.

Pertama, guru dan juga orang tua sebagai pendamping murid tidak hanya wajib fasih dalam teknologi pendidikan. Mereka juga harus memahami perbedaan kebutuhan murid ketika belajar di sekolah maupun di rumah.

Organisasi yang peduli kesenjangan pendidikan seperti SchoolVirtually, misalnya, menyediakan pendekatan maupun rencana belajar bagi guru menggunakan teknologi rendah maupun tanpa teknologi sama sekali – dari cara menyusun rencana belajar dengan orang tua via WhatsApp (WA), hingga strategi mengantar materi dengan sistem antar jemput sekolah. Pemerintah bisa bekerja sama dengan organisasi semacam ini di Indonesia untuk membantu siswa yang minim akses pembelajaran jarak jauh.

Kedua, pembuat kebijakan pendidikan juga harus terus berinovasi dan mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran jarak jauh.

Di Indonesia, selama ini inovasi pembelajaran jarak jauh masih fokus pada layanan daring (online), misalnya platform Rumah Belajar milik Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-ristek). Masih perlu banyak inovasi yang berbasis luring (offline) bagi mereka yang minim akses online learning.

Institusi yang berpotensi mengembangkan hal ini adalah Universitas Terbuka (UT) yang telah berpengalaman menjalankan pembelajaran jarak jauh dengan beragam mahasiswa – kaya maupun miskin, di daerah perkotaan maupun perdesaan – selama 37 tahun. Salah satu fakultas terbesar mereka adalah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang banyak fokus pada kompetensi pembelajaran jarak jauh. Tahun ini, mahasiswa FKIP berjumlah lebih dari 128.000 orang atau 41% dari seluruh mahasiswa UT. Kemendikbud-Ristek patut berkolaborasi dengan FKIP UT maupun lulusannya untuk mengembangkan berbagai inovasi untuk memperbaiki pembelajaran jarak jauh di Indonesia.

Ketiga, melibatkan orang tua adalah hal yang tidak kalah penting dalam pengembangan pembelajaran jarak jauh.

Selama ini, sekolah tidak begitu melibatkan orang tua dalam proses pendidikan anak – mereka hanya dilibatkan ketika ada rapat atau ketika membayar iuran sekolah. Padahal, orang tua berperan besar mendukung capaian akademik anak selama belajar di rumah – peran yang semakin nyata pentingnya selama pandemi COVID-19.

Pembelajaran jarak jauh yang berkualitas secara online maupun offline dapat membantu murid – apa pun latar belakangnya – mendapatkan layanan pendidikan setara dengan hasil sekolah tatap muka yang kita kenal selama ini. Indonesia sekarang mempunyai kesempatan membuat terobosan dalam pembelajaran jarak jauh. Apabila peluang ini kita maksimalkan, pada masa pasca pandemi COVID-19 nanti kita bisa mentransformasi sistem pendidikan Indonesia menjadi lebih baik dan berkeadilan.

 

*Heni Kurniasih, sekretaris lembaga The SMERU Research Institute, juga ikut menulis artikel ini.


Bagikan Postingan Ini