Friday, 6 December 2019

Skor siswa Indonesia dalam penilaian global PISA melorot, kualitas guru dan disparitas mutu penyebab utama

Foto: Novita Eka Syaputri

.

Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia.

.

Skor kompetensi siswa Indonesia dalam membaca, matematika, dan sains pada 2018 lebih rendah dibanding pengukuran serupa tiga tahun sebelumnya. Alih-alih menanjak, bahkan nilai kemampuan membaca tahun lalu setara dengan capaian tahun 2000.

Kabar buruk ini datang setelah pada 3 Desember lalu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merilis hasil Program Penilaian Pelajar Internasional (Programme for International Students Assessment, PISA) 2018.

Hasil dari pengukuran global untuk siswa berusia 15 tahun itu menunjukkan bahwa rata-rata skor siswa Indonesia adalah 371 dalam membaca, matematika 379, dan sains 396. Capaian skor tersebut di bawah rerata 79 negara-negara peserta PISA, yakni 487 untuk kemampuan membaca, dan 489 untuk kemampuan matematika dan sains.

Dalam PISA sebelumnya, tahun 2015, siswa Indonesia mencatatkan rata-rata yang lebih tinggi untuk semua bidang yaitu 397, 386, dan 403 untuk kemampuan membaca, matematika, dan sains.

Mengapa hasil penilaian siswa Indonesia pada studi global yang diselenggarakan tiga tahun sekali itu justru melorot signifikan? Hasil buruk kemampuan literasi siswa pada PISA 2018 cukup mengagetkan banyak pihak, terutama karena terjadi setelah digalakkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sejak 2016.

Dari laporan PISA diketahui bahwa rendahnya kualitas guru dan disparitas mutu pendidikan di Indonesia diduga sebagai penyebab utama buruknya kemampuan literasi siswa secara umum. Penyebab lainnya, saya kira Gerakan Literasi Sekolah gagal mendongkrak kualitas literasi siswa.

Model tes PISA

PISA merupakan suatu studi global dalam penilaian kompetensi siswa berusia 15 tahun dalam bidang matematika, sains, dan membaca. Tes yang diselenggarakan oleh Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) ini diikuti oleh 79 negara, dari negara maju dan berkembang. Model soal tesnya sama untuk setiap negara peserta. Soal-soal ini diterjemahkan ke bahasa masing-masing negara.

Tes ini tidak bertujuan untuk menilai penguasaan siswa akan konten kurikulum, melainkan untuk mempelajari apakah siswa dapat mengaplikasikan pengetahuan yang telah dipelajari dalam situasi yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari.

Indonesia telah berpartisipasi dalam tes PISA sejak tahun 2000. Dalam tes ini, kemampuan siswa dalam setiap bidang disebut dengan kemampuan literasi membaca, literasi matematika, dan literasi sains.

Penilaian ini digelar setiap tiga tahun sekali, dengan fokus yang berbeda-beda setiap pelaksanaannya. Hasil PISA yang baru saja dirilis tersebut merupakan hasil dari studi PISA tahun 2018, dengan fokus pada kemampuan literasi membaca.
 

Literasi rendah

Hasil PISA 2018 menunjukkan bahwa 70% siswa Indonesia tidak mampu mencapai level 2 pada framework PISA. Hasil siswa Indonesia sangat mengkhawatirkan. Padahal, secara rata-rata hanya sekitar 23% siswa di 79 negara peserta PISA yang tidak mampu menguasai kemampuan membaca level 2.

Soal-soal pada level 2 PISA mengharapkan siswa dapat menentukan ide utama dalam teks, mencari hubungan berbagai informasi dalam teks, dan menentukan kesimpulan sederhana dari teks bacaan.

Tingkat literasi yang rendah merupakan masalah mendasar yang memiliki dampak sangat luas bagi kemajuan bangsa karena sebagian besar keterampilan dan pengetahuan yang lebih mutakhir diperoleh melalui kegiatan membaca. Masyarakat pembaca yang terampil - mampu membaca, memahami, mengevaluasi, dan menyaring informasi - akan dapat menuai manfaat sebesar-besarnya dari sumber bacaan.

Literasi rendah berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas negara, yaitu jumlah output yang dihasilkan negara tersebut dalam suatu periode.

Produktivitas yang rendah akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan yang ditandai oleh rendahnya pendapatan per kapita, yaitu tingkat pendapatan semua orang di sebuah negara jika terdistribusi secara merata. Literasi rendah juga berkontribusi secara signifikan terhadap kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan.

Hasil studi program RISE–The SMERU Research Institute memprediksi bahwa rerata kemampuan membaca siswa Indonesia hanya akan setara dengan rata-rata kemampuan siswa di negara OECD pada 2090, bila tidak ada upaya serius memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia.

Guru yang hambat belajar

Salah satu aspek yang dipelajari dalam studi PISA untuk menjelaskan capaian belajar siswa adalah kualitas guru. Studi PISA mendapatkan informasi dari kepala sekolah dari sekolah-sekolah yang siswanya berpartisipasi dalam PISA mengenai karakteristik guru yang menghambat siswa belajar.

Hasil studi PISA 2018 menunjukkan setidaknya ada lima kualitas guru di Indonesia yang dianggap dapat menghambat belajar, yaitu:

  1. Guru tidak memahami kebutuhan belajar siswa.
  2. Guru sering tidak hadir.
  3. Guru cenderung menolak perubahan.
  4. Guru tidak mempersiapkan pembelajaran dengan baik.
  5. Guru tidak fleksibel dalam proses pembelajaran.

PISA diujikan untuk siswa usia 15 tahun, yaitu ketika mereka berada di kelas 3 SMP atau awal SMA. Capaian siswa dalam PISA merupakan akumulasi belajar sejak tingkat pendidikan dasar. Permasalahan kualitas guru ini tidak terlepas dari rendahnya kompetensi yang dimiliki guru pada satuan pendidikan dasar dan menengah.

Hasil studi saya dan kolega menemukan bahwa hanya 12% guru sekolah dasar yang merasa menguasai materi pengajaran literasi membaca dan 21% yang menganggap dirinya menguasai materi pengajaran matematika.

Penggalakkan Gerakan Literasi Sekolah yang diharapkan dapat mewujudkan Nawa Cita Presiden Joko Widodo tampaknya sulit mencapai target jika tanpa dibarengi dengan mendongkrak kompetensi guru yang tepat dalam memfasilitasi pembelajaran literasi.

Disparitas mutu pendidikan

Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa ada peningkatan akses pendidikan yang signifikan di Indonesia dengan ditandai naiknya persentase penduduk usia 15 tahun yang bersekolah. Namun, peningkatan akses ini belum dibarengi dengan peningkatan kualitas.

Tes PISA yang diselenggarakan tahun lalu merepresentasikan 85% penduduk Indonesia usia 15 tahun, sedangkan PISA 2003, misalnya, hanya merepresentasikan 46% penduduk Indonesia di kelompok usia tersebut. Pada 2018, 399 satuan pendidikan dengan 12.098 peserta didik yang mengikuti PISA. Setiap provinsi ada perwakilan sampel.

Peningkatan keterwakilan ini dianggap sebagai salah satu hal yang dianggap dapat menjelaskan penurunan capaian siswa dalam PISA 2018.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan naiknya jumlah keterwakilan dalam PISA 2018 dan ketidakmerataan kualitas pendidikan nasional diduga mempengaruhi hasil akhir tes PISA. Skor siswa di daerah yang kualitas pendidikannya belum baik “berkontribusi terhadap rendahnya” skor rata-rata nasional.

Misalnya, siswa di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan DKI Jakarta memiliki skor rata-rata 411 dan 410 dalam kemampuan membaca. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan membaca siswa DIY dan DKI dinilai setara dengan kemampuan membaca siswa di Malaysia dan Brunei Darussalam. Sedangkan siswa di daerah lain di Indonesia menunjukkan kemampuan membaca yang jauh lebih rendah, dengan skor rata-rata nasional hanya 371.

Hasil yang cukup baik di DIY, khususnya di Kota Yogyakarta, dapat dijelaskan oleh adanya berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan partisipasi aktif dari masyarakat untuk mendukung Gerakan Literasi Sekolah melalui kegiatan perpustakaan keliling dan budaya literasi membaca yang baik di masyarakat.

Gerakan Literasi Sekolah

Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dimulai pada 2016 dan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan literasi siswa usia sekolah. Lewat gerakan ini, banyak pojok literasi dan panggung literasi yang diadakan di sekolah. Gerakan ini didukung pula dengan pengadaan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di luar sekolah.

Dari hasil PISA 2018, belum terlihat efektivitas GLS maupun TBM dalam menaikkan kemampuan literasi membaca. Hal ini disebabkan, antara lain, buku bacaan belum sesuai dengan usia dan minat siswa serta minimnya dukungan orang tua dan masyarakat dalam menumbuhkan budaya membaca.

GLS juga menyasar literasi dalam bidang numerasi dan sains. Dalam penguatan dua bidang ini, sayangnya Kementerian Pendidikan hanya menyarankan gerakan ekstrakurikuler, seperti klub matematika dan sains di luar kegiatan pembelajaran di kelas. Umumnya klub ini diikuti oleh sebagian kecil siswa yang sudah memiliki minat dan bakat dalam bidang tersebut.

Banyak dari siswa yang mengikuti klub matematika dan sains ini kemudian dipersiapkan untuk mengikuti kegiatan olimpiade sains. Padahal, perbaikan atas permasalahan rendahnya kompetensi siswa dalam literasi matematika dan sains harusnya menyasar siswa usia sekolah secara umum melalui penguatan kegiatan pembelajaran di ruang kelas.

Keluar dari kubangan masalah

Dengan adanya diagnosis kompetensi siswa Indonesia dari survei PISA, perlu ditindak lanjuti dengan meningkatkan kualitas guru, mengurangi disparitas pendidikan, dan menjalankan berbagai program pendidikan secara sistematis dan menyeluruh.

Sistem pendidikan dan pelatihan guru, serta sistem penempatan dan perekrutan guru merupakan dua hal yang sudah darurat untuk segera diperbaiki.

Selain itu, sistem penilaian dan kurikulum yang selama ini menjadi panduan utama guru dalam mengajar perlu juga ditinjau ulang agar tidak semakin mengarahkan mereka menjadi guru yang menghambat belajar.

Partisipasi aktif dari orang tua dan masyarakat dalam menumbuhkan budaya belajar juga diperlukan untuk mensinergikan program-program ini. Perlu komitmen semua pihak dalam menyukseskan program pemerintah seperti Gerakan Literasi Sekolah (GLS), agar tidak sekadar menjadi slogan.

Seperti kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, impian untuk dapat memiliki capaian rerata setara negara-negara OECD dalam PISA hanya dapat diwujudkan dengan optimisme untuk bekerja keras dari semua pihak.


Bagikan Postingan Ini