Monday, 25 March 2019

Tunjangan Profesi dan Alasan Menjadi Guru

Foto ilustrasi: Tony Liong

 

Artikel ini merupakan bagian dari seri "Catatan Perjalanan Guru” dengan tema motivasi menjadi guru.

 

Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. “Gelar” tersebut disematkan pada profesi guru sejak puluhan tahun silam. Alasannya karena guru mengemban tanggung jawab yang besar dalam membentuk generasi penerus bangsa yang berkualitas, namun, imbalan yang mereka terima tidak terlalu besar.

Sekarang, kondisinya bisa dibilang berbeda. Pemerintah telah menaikkan tunjangan guru untuk memperbaiki kesejahteraan guru. Tetapi, kebijakan tersebut layaknya pisau bermata dua yang menurut saya meracuni dunia pendidikan di Indonesia. Banyak orang kemudian ingin menjadi guru karena alasan finansial atau kesejahteraan yang terjamin, tanpa diimbangi dengan kualitas dan profesionalisme dalam mengajar.

Saya mengamati pada 2010 banyak lulusan sekolah menengah yang tertarik melanjutkan kuliah di bidang keguruan dan ilmu pendidikan. Saat itu isu tentang besarnya tunjangan guru sangat hangat, dan membuat Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) menjadi salah satu jurusan favorit di sejumlah kampus. Banyak universitas yang melihatnya sebagai peluang, lalu membuka jurusan keguruan guna mengakomodasi peningkatan minat calon mahasiswa kala itu.

Hasilnya bisa kita lihat saat ini. Banyak lulusan bidang keguruan yang menjadi pengangguran.

 

Alasan saya menjadi guru

Awal saya menggeluti bidang pendidikan sama seperti kebanyakan lulusan sekolah menengah waktu itu, yakni dipaksa orang tua. Alasan orang tua, menurut dugaan saya, adalah karena adanya kenaikan tunjangan guru.

Seiring berjalannya waktu, saya menemukan motivasi lain. Dari dalam diri saya muncul dorongan untuk membentuk siswa didik berprestasi. Hal itu membuat hati saya senang.

Berkuliah di bidang keguruan membuat saya bertemu teman-teman yang mempunyai tujuan dan motivasi serupa. Sama seperti saya, mereka juga ingin memelajari dan menguasai berbagai aspek kompetensi pedagogis agar layak disebut guru. Situasi tersebut makin menambah motivasi saya untuk menjadi guru yang profesional.

Sebenarnya, menurut saya, dalam kehidupan sehari-hari kita sudah menjadi guru, meski tanpa kita sadari. Contohnya saat kita mengajari bawahan atau teman untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan.

Namun, sayangnya, tidak semua orang mempunyai keinginan menjadikan guru sebagai profesi yang mulia. Sebagian lebih mengharapkan imbalan kesejahteraan finansial seperti yang dijanjikan pemerintah.

Guru merupakan profesi yang mulia. Guru harus telaten mendidik siswa agar berprestasi dan mempunyai moral yang baik. Guru bertugas menumbuhkan tunas-tunas bangsa yang nantinya akan menjadi generasi penerus negara ini. Bukankah hal tersebut sangat mulia? Sebagai guru, tentu rasanya bangga jika ada siswa didik yang pintar dan berperilaku baik.

Bekerja sebagai guru juga menyenangkan. Setiap hari berinteraksi dengan para siswa di kelas, melihat mereka tertawa, terkadang menangis, sambil membayangkan kelak mereka tumbuh menjadi orang-orang yang sukses. Bukankah semua itu sangat menyenangkan?

 

Harapan bagi guru-guru muda

Semua motivasi dan kesan itu tumbuh di hati saya setelah berinteraksi langsung dengan siswa. Menurut saya, itu bisa menjadi alasan bagi seorang guru untuk terus bersemangat dan lebih kreatif dalam mengajar. Ditambah tunjangan profesi yang cukup besar, seharusnya guru berstatus PNS saat ini bisa lebih kreatif dan terus berkembang.

Harapan saya ke depan bagi guru-guru muda di Indonesia: Semangatlah! Jadikan senyum dan kebahagiaan siswa alasan untuk terus berkembang dan menjadi lebih profesional. Tunjangan profesi diberikan untuk meningkatkan kreativitas dan semangat guru. Semoga guru-guru muda dapat mengartikan tunjangan profesi tersebut secara bijak.

Be a smart teacher!

 

 

* Catatan ini ditulis oleh HSW, guru SD yang berasal dari Provinsi Jawa Tengah.

** Semua tulisan yang dipublikasikan dalam Catatan Perjalanan Guru merupakan pandangan penulis, telah melalui proses penyuntingan untuk keperluan penulisan populer, dan tidak mewakili pandangan Program RISE di Indonesia ataupun penyandang dana RISE.